1 Januari 2010 jam 00:00 di Pura Besakih didepan Pelinggih Ratu Mas dan Brahmaraja, Raja Majapahit Sri Wilatikta Brahmaraja XI Telah Meng Abhiseka Gusti Arya Wedakarna Sebagai Sri Wilatikta Tegeh Kori Kepakisan untuk menjadi Simbol Dunia bahwa Majapahit masih ada "LER COKRO MANGGILINGAN".

Dengan Pertimbangan selama 5 tahun Dewan Penasihat Hyang Bhatoro Agung Suryo Wilatikto Keturunan Brahmaraja yang ke XI telah meneliti siapa yang berhak mendapat Abhiseka "Sri Wilatikta" karena nama ini sangat Wingit dan kalau dipakai Tanpa Abhiseka akan membawa Malapetaka, Juga kalau Perjuangan yang di Abhiseka kurang Tulus Iklas khususnya kepada leluhur juga akan membawa KUWALAT {bahasa Jawa} dan TULAH {bahasa Bali} maka Dewan penasihat bahkan ada yang dari China telah memilih Wedakarna dengan Pertimbangan :

Waktu Singaraja menginginkan Ganesha Tertinggi di Dunia menyamai keberadaan Pura Majapahit di Garuda Wisnu Kencana [GWK] yang menyungsung Pratima Prabu Airlangga dan sudah diketahui banyak Orang Hyang Surya mengatakan "Sungsung Pratima ganesha Majapahit pasti Terwujut Ganesa Tertinggi di Dunia di Singaraja" Pemrakarsa adalah Budi [Marhaen], Jelada [Mangku], Arya Sunu Dosen IKIP] dll Ternyata Pemuda Wedakarna membuat Gagasan bersama Karl Gunter Meyer berhasil mewujutkan Patung Ganesa tersebut Tepat 9 Bulan setelah Pratima ganesa majapahit berada di Singaraja dan Peresmian Patung Ganesa Tertinggi di Dunia dan masuk Musium Rekort Indonesia [MURI] oleh Raja Abhiseka Majapahit Sri Wilatikta Brahmaraja XI mewakili Majapahit yang diakui Dunia dan Sukmawati Soekarnoputri Mewakili Pendiri Indonesia Bung Karno juga Tokoh Tokoh Dunia anggota World Hindu Youth Organization dengan menanda Tangani Prasasti. Setelah Ganesa Tertinggi terwujut Pratima Ganesa ditarik kembali ke GWK.

Wedakarna pun Berani Mendak Pratima Siva Parwati dan Durga Mahisa nandini Majapahit untuk di Upacarai di Kampus Universitas Mahendradata, Juga Kirap Pratima Ganesa dan Acara Acara yang menyangkut Pura Majapahit yang berada di Bali karena Pura majapahit Trowulan tidak boleh Ritual dan kegiatan dalam bentuk apapun, Jadi Wedakarna lah yang selalu membuat Acara Majapahitan di Bali yang ber sekala Internasional. Ada kesamaan antara Wedakarna dan Pura Majapahit Trowulan, Kalau Pura majapahit di Trowulan di Tutup Berita Pura Majapahit dengan Pusakanya sangat bagus di Media Bali dan banyak yang Simpati, Sedang Wedakarna yang tidak mengalami Penutupan Universitasnya tetap jalan hanya diganti dari "MARHAEN" menjadi "MAHENDRADATA" Tapi nama Wedakarna sangat Buruk di Media dan kurang banyak mendapat Simpati bahkan malah banyak hambatan dan kritikan waktu itu sejak 2004, Jadi ada persamaan dengan Pura Majapahit dan Universitas Mahendradata tapi terbalik atau berlawanan bila digabung akan saling mengisi, Nama Hyang Suryo lagi Puncak nya di Media sedang Wedakarna lagi Terpuruk, Pura Majaphit Trowulan namanya lagi Terpuruk ditutup di Bali tidak ada yang membela, Nama Universitas Mahendradata tidak ada masalah di Bali jadi masih bisa di Kibarkan kalau digabungkan akan saling menutup Keterpurukan dan Ketenaran yang sama dengan Wedakarna bila di Tunjang nama majapahit akan= IMPAS atau sama sama lah dengan modal Nol ini tidak Minus tentu bisa MAJU bila direstui LELUHUR.dan berjuang dengan Tulus Iklas dan terbukti Wedakarna Meroket menjadi DOKTOR dan REKTOR termuda di Dunia 2009. "JER BASUKI MOWO BEYO"

Dengan Upacara Upacara Leluhur majapahit Tingkat Internasional untuk membuktikan Dunia kalau Majapahit masih ada dan memang ada, akhirnya 2009 Wedakarna berhasil menjadi DOKTOR Termuda di Dunia, Juga menjadi REKTOR Termuda di Dunia dan pada Upacara Tahun Baru 1-1-2009 di Besakih yang ke 8 X nya Pemuda Aneh ini mengundang Pratima Majapahit Masuk Pura Besakih yang kebetulan ada Pelinggih Brahmaraja dan Ratu Mas dan Wedakarna pun tidak tahu Pelinggih ini [Tulisan Lengkap di Blog lain 666 tahun], Karena Pratima Ratu Mas untuk Pertama kalinya Melinggih di Pelinggihnya di Besakih atas Undangan Wedakarna Sedang Pihak lain tidak ada Satupun yang mengundang Upacara di Besakih Selama Pratima Majapahit di Bali, maka waktu itu Wedakarna oleh Sri Wilatikta Brahmaraja XI di Lantik sebagai Raja Negara bali didepan Leluhur Ratu mas di komplek Pura Brahmaraja Wisesa. Mengingat sudah 8 X setiap tahun Baru Pemuda Nyentrik ini selalu Meditasi dan ber Tapa di Besakih yang pertama 1-1-2001 hanya 3 Orang kata Weda sendiri dan tidak ber Hura Hura seperti Pemuda pada Umumunya, inilah yang dilihat Para Penasihat Brahmaraja XI untuk melantik Pemuda yang Aneh ini sebagai Raja Negara [Jembrana] Bali agar Dunia mengetahui dan terbukti Raja Thailand mengundangnya, Hingga Raja Negara Bali [Hindu] dan Raja Thailand [Buda] bisa bertemu duduk bersama dalam Kesatuan Siwa Buda Majapahit, juga sesuai Pertapaannya dan Keuletannya berjuang juga mengendalikan 800 Organisasi Tingkat Dunia membuktikan kebrilianan Otak nya dan Yang Aneh malah Percaya leluhur nya majapahit yang pada Umumnya Pemuda Ilmiah kurang Percaya pada hal hal yang diluar Akal Sehat. Jadi Raja Negara [Jembrana] Bali dianggap Luar Negri Seluruh Bali, Kini sekalian saja Raja Majapahit Bali [yang Orang Jawa bilang Bali itu Kembali ] agar berkiprah nya di Dunia makin dipercaya dan mengharumkan nama Majapahit yang dianggap tidak ada dan Majapahit Hyang Suryo selalu nge Klaim Bali Adat nya yang terkenal Hindu yang baru diakui 1961, padahal yang diklaim hanya kecil Leluhur nya di Mrajan Kuna Peninggalan Majapahit saja Termasuk Besakih, Dulu Era Orde baru Orang takut termasuk Bali menyebut Leluhur Majapahit selalu menyebut Ista Dewata Sang Hyang Widi Wasya dan bikin Pura Hindu baru bukan Leluhur tapi Padma satu untuk Tuhan/Hyang Widi/Allah sampai Pelajaran SD Pura adalah tempat Ibadah Hindu, Hanya Hyang Suryo tetap berani menyebut Pure dalam Rumah/Puro/Pura/Keraton adalah Tempat/Kuburan Leluhur bukan Tuhan/Hyang Widi hingga di Tutup Camat yang Pemerintah RI di Tuduh Tempat Ibadah Hindu dan Hyang Suryo menyebarkan Agama Hindu padahal hanya Tempat Leluhur masuk Budaya, padahal banyak pendukung Kejawen, Islam, Kristen, Hindu, Buda, Konghucu dll yang percaya Leluhur bersatu di Pure Leluhur Majapahit dalam Rumah/Puro/Griyo/Dalem Hyang Suryo, dan Universitas Marhaen pun tidak disenangi sampai ganti Mahendradata jadi kesamaan nasib dan kesamaan Perjuangan untuk Leluhur Majapahit lah semua ini. Wedakarna di Abhiseka "Sri Wilatikta" agar di Mata Dunia yang mengagumi Majapahit Tidak dipandang sebelah Mata mengingat Indonesia adalah Negara Islam terbesar di Dunia tapi terpuruk jadi Budak, Korupsi merajalela, Jadi biarpun Majapahit Kecil masih ada Sinar Kebesaran nya dan Sutasoma nya yang ada di Bali, kan Penampilannya Besar mengingat Bung Karno pun Besar yang menggali Pancasila untuk Dasar Negara biarpun di Tumpas beserta Pengikut nya 1965-1966 dan namanya mau dihapus dari Sejarah tapi kan Pancasila masih digantung ? Universitas Marhaen nya yang didirikan1963 masih ada biarpun ganti Mahendradata yang kini Rektor nya Wedakarna yang kerja sama dengan The Majapahit Center, The Sukarno Center, Forum Kebangkitan Siwa Buda dll.

Kembali 31-12-2009 menyongsong 1-1-2010 Pemuda Terpandai dan Rektor Termuda ini Tidak diduga duga masih juga meneruskan Acara Aneh nya tidak ber Hura Hura disela sela Kesibukannya sebagai Rektor malah secara Resmi mengundang lagi Pratima Ratu Mas untuk Nyejer Besakih Pura Majapahit pun mengumumkan Undangan Resmi ini kepada Para Sepiritualis yang mau tidak ber Hura Hura pada Malam Tahun Baru 2010 dan bagi yang sibuk atau perlu Liburan atau simpatisan yang tidak mengerti Pratima tidak diberi tahu karena akan mengganggu Liburannya dan bila diberi tahu lalu tidak datang akan kena Tulah / Kuwalat jadi hanya tertentu yang diberi tahu Termasuk AA Ngurah Darmaputra SH Juru Penerangan [JUPEN] Pura Majapahit mengingat Kesibukan nya kerja di Perusahaan Belanda yang pasti Merayakan Tahun Baru secara Besar Besaran jadi Darmaputra yang 1970 an Pernah dilantik juga didepan Ratu Mas Besakih tapi tanpa Pratima oleh Sri Wilatikta Brahmaraja XI sebagai Pendeta Majapahit hingga memiliki Kemampuan Niskala yang Hebat juga tidak diberi tahu, Ternyata Kali ini tidak tanggung tanggung dukungan mengalir dari Jawa, Bali, Nusantara dan Luar Negeri dan yang Para Pecinta, Pendukung, Simpatisan, Keturunan Majapahit Penggemar Tapa, Tirakat, Semedi Tidak ber Hura Hura, Jadi yang hadir Orang Orang Aneh dan Khusus karena Orang Normal sulit bisa Hadir pada malam tahun Baru di Pura yang Sepi di Lereng Gunung Agung, Pada hal Undangan untuk Brahmaraja XI numpuk untuk Acara Tutup Tahun, Akhirnya Demi Leluhur Ratu mas Brahmaraja XI pun sekalian Odalan untuk Ratu Mas di Pelinggih Ratu Mas Besakih Lengkap dengan Gamelan dan Barongsai yang benar benar dipersiapkan dengan Matang jadi Musik nya Siwa -Buda dan untuk pertamakalinya diadakan di Besakih khusus di Pelinggih / Meru Ratu Mas dan Brahmaraja Kawitan, Dan tanpa di Sengaja pula Wedakarna malah Nyeleneh membawa Tapel / Topeng Gajah Mada dan Kebo Iwa untuk di Taksu oleh Sri Wilatikta Brahmaraja XI Raja Abhiseka Majapahit untuk Persatuan Jawa dan bali, ini yang aneh lagi katanya ini Pawisik Niskala, Akhirnya benar Juga ada Bisikan Ilmiah dan Gaib atau Sekala dan Niskala "Trimurti" jadi 2 Tapel 1 Weda sekalian di Taksu, Akhirnya yaitu Weda di Abhiseka dengan gelar "SRI WILATIKTA" supaya ada sepasang Sri Wilatikta, sebab di Besakih Pusaka Pusaka Tombak Pengawal pun sepasang, yang hadir pun sepasang ada Laki ada Perempuan Pelinggih pun Sepasang yaitu Pelinggih Brahmaraja dan Ratu Mas, Jadi kini "WILATIKTA" pun sepasang Tertua dan Termuda, yaitu wedakarna sebagai Wilatikta Muda yang bisa berkiprah sebagai simbol Majapahit menghadapi Dunia yang kelak milik anak Muda.

Jadi inilah alasan mengapa Pemuda Wedakarna mendapat Abhiseka nama "Sri Wilatikta" karena dinilai Perjuangannya kepada Majapahit baik Sekala maupun Niskala sudah mencukupi di Bandingkan Yang Lain selama Pura majapahit di Bali Silahkan mempertimbangkan, memang banyak pertanyaan tapi silahkan menilai Alasan dan Tulisan ini dan janganlah berpikiran buruk karena menyangkut Leluhur yang bisa membuat Kuwalat [Jawa] dan Tulah [Bali] kata AA Ngerah Darmaputra SH yang tidak diberi tahu dan memang tidak bisa hadir bila diberi tahu sekalipun karena kerja di LIBI Belanda,***

Di Era Kemoderenan ini memang sebuah Nama Besar akan berguna bila yang memiliki sanggup Berjuang, Pendidikan dan Kepandaian memadai lepas Pro dan Kontra apalagi Wedakarna juga sebagai President World Hindu Youth Organization, Juga ada 17 Tanda Tangan Dukungan raja, Delegasi Rusia juga sudah menemui Weda, bahkan Raja Thailand pun pernah mengundang nya kalau India jangan tanya, serta banyak Kegiatan Tingkat Dunia yang di Geluti dan memang Sri Wilatikta Brahmaraja XI tidak punya Pendamping yang Mumpuni untuk kesana kemari dan masih Muda serta kuat dan Briliant, Dahulu ada gajah Mada yang keliling Dunia, ya kini ada Pemuda Wedakarna juga bisa keliling Dunia karena hanya Simbol maka Gelar "Sri Wilatikta Tegeh Kori Kepakisan I" sangatlah Tepat untuk berkiprah mewakili Majapahit Siwa -Buda yang kebetulan Pemuda ini juga Pendiri "FORUM KEBANGKITAN SIWA BUDA" yang di Ketuai Gusti Raden Panji [GRP] Prawirodipoero dan Sri Wilatikta Tegeh Kori Kepakisan I dan Sri Wilatikta Brahmaraja XI sebagai Penasihat saja dan Para Pakar nya yang sangat Mumpuni di Bidangnya dan banyak DOKTOR nya minimal SH, Drs, MBA, SE dll terdiri dari berbagai SARA [Suku, Ras dan Agama] dan sudah men Dunia serta didukung Leluhur Penasihat Bhatara Wisnu Empu Daha dan Empu Daka, serta Ramalan Sabdopalon Noyogenggong pun sudah berjalan, jadi kalau tidak reaksi berjuang atau membuat Simbol Majapahit masih ada kan kurang enak dengan Para Leluhur yang 500 tahun Sengsara Tidak bisa di Upacarai di Tanah nya Sendiri dan sudah memberikan Jalan Terang Bagi Kerja Sama Persatuan ini jadi marilah kita Yakin Majapahit sudah Bangkit Hari ini jangan ngitung ngitung kapan ? atau tidak percaya diri, Marilah BANGKIT sesuai KEHENDAK LULUHUR NUSANTARA jangan hanya Tong Kosong Nyaring Bunyinya, inilah KASUNYATAN berbahagialah yang hidup saat ini dimana bisa menyaksikan tepat 500 tahun Kebangkitan Majapahit sesuai Tulisan Sabdopalon Noyogenggong marilah kita saksikan bersama Bukti Tulisan Beliau jangan sampai kita malah jadi Korban Pageblug nya Pagi Sakit Sore Mati demikian sebaliknya SEKALI LAGI MARI ELING, Bejane Wong Lali Luwih Bejo Sing Eling lan Waspodo ,

Cam' kan ini ada Pepatah Manusia berusaha Tuhan yang menetukan ini Pepatah Baru, ada Pepatah Kuno "LELUHUR SUDAH MENENTUKAN lha kok kita tidak USAHA ?" Leluhur Sampai Menulisdan mewariskan Kitab Kitab sampai Jangka Tanah Jawa sampai Kiamat Kobra seperti Suku Maya yang kiamat 2012 bukan Jangka Tanah Arab kita malah Acuh tidak Percaya dan tidak Usaha malah merasa tidak tinggal di Jawa tapi di Arab 1500 tahun yanglalu Zaman Abunawas Seribu satu Malam dengan Lampu Aladinnya, malah Terlena Tulisan dan Buku Leluhur Tanah Negara Lain Arab yang jauh dimata, Aneh Tapi Nyata sekali lagi Leluhur sudah Menetukan tinggal menjalankan kok tidak mau aneh kan ? Coba Pikir dengan Jernih ini Saudara China begitu Maju nya menguasai Asia dalam Era Perdagangan Bebas sejak 1-1-2010 kita ? masih lelap mimpi jalan jalan di Padang Pasir sambil naik Onta ya ? diluaran sudah Naik Pesawat Super Sonik di China sudah ada Kereta Api tercepat di Dunia kok masih mimpi naik Keledai {Team Penasihat Puri Surya Majapahit}

Halo sahabat...

Saya ingin tau apa TARGET dan Cita-Cita kamu Tahun 2010 ini ?

. Apakah ingin memiliki Mobil Mewah ?
. Ingin memiliki Rumah Mewah ?
. Ingin memiliki Bisnis Besar ?
. Bebas Finansial ?
. Hidup Mapan dan Sejahtera ?

TETAPI... Bagaimana CARA meraih itu semua ?

. Butuh Modal BESAR ?
. Harus berpendidikan TINGGI ?
. Harus Bekerja sangat KERAS ?

Mampukah kamu ?

Coba luangkan waktumu sejenak melihat situs ini : http://www.asetshare.com/?ref=5152

Di AsetShare.com! kamu akan mendapatkan penghasilan milyaran rupiah tanpa perlu bekerja keras!

Menggunakan sistem otomatis yang pasti akan menghantarkan kamu menjadi seorang milyuner! DIJAMIN!

Perlu BUKTI ?
Kunjungi Website saya : http://www.asetshare.com/?ref=5152


Sukses Selalu!


Majapahit. Oleh : Ngarayana
Hampir selama 1000 tahun, kerajaan-kerajaan Hindu tumbuh subur di pulau Jawa. Kejayaan Hindu mulai menyurut sejak runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara akibat datangnya Islam pada abad ke 15. Hampir selama 500 tahun Hindu di Indonesia dapat dikatakan hampir punah, namun pada tahun 1970-an terjadi fenomena dimana Hindu tumbuh dengan pesatnya disaat Indonesia di landa kerisis politik dan ekonomi.

Risert etnografis yang dilakukan Thomas Reuter terhadap lima kelompok masyarakat pada beberapa daerah candi-candi Hindu besar di jawa diperolehlah telahan sejarah politik dan dinamika sosial yang mengarah kepada kesimpulan bangkitnya Hindu di Jawa.

Thomas Reuter menyatakan ketertarikannya pada pulau Jawa setelah 10 tahun melakukan penelitian di Bali. Menurutnya, kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang bertirtayatra ke candi-candi Hindu di Jawa semakin bertambah. Bahkan tidak jarang orang Bali terlibat dalam pembangunan dan pelaksanaan upacara di candi/pura baru di Jawa.

Dalam konteks sejarah dan politik, masih banyak orang Jawa mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. orang-orang ‘Hindu’ Jawa yang ditulis di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.

Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan Thomas Reuter, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.

Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitiannya di Jawa Timur menunjukkan bahwa laju proses perpindahan agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.

Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang-orang Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [1] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan pada tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).

Pada awal tahun 1970-an, orang-orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).

Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966 (Beatty 1999). Orang-orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota-anggota muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang-orang komunis tapi juga unsur-unsur Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keselamatan nyawanya, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Islam.

Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi-organisasi Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran-tawaran kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).

Kekawatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program-program pendidikan Islam besar-besaran dan pembangunan mesjid-mesjid melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan-pembunuhan oleh ekstrimis Muslim atas orang-orang yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh ‘ninja’ yang terjadi di desa-desa terpencil di Jawa?)

Pengalaman-pengalaman pahit dan penindasan membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang-orang yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara-upacara tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..

Dalam konteks sosial dan ekonomi, cirri-ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura-pura yang baru saja dibangun atau candi-candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura-pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah, pura Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika pura ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.

Perpindahan agama besar-besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar pura Agung Blambangan yang merupakan pura baru yang dibangun di daerah sisa-sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politik Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa.

Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar pura Pucak Raung (di Jawa Timur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.

Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindu kuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.

Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.

Selain itu candi-candi besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain sumber penghasilan bagi pekerja pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi-candi nasional itu menciptakan industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan took-toko yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari-hari raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang-orang Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam.

Pihak pendukung atau penentang Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba-tiba di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa ciri dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak. Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.

Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan.[2] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.

Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana-bencana alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.

Beberapa tempat suci Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Pura Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai-nilai Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tata cara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.

Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di Koran-koran. Ramalan-ramalan kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.

Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai ‘ratu adil’ yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika kendaraan-kendaraan besi bergerak sendiri tanpa kuda-kuda dan kapal-kapal berlayar menembus langit“), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan nusantara kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.

Orang-orang Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dengan penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar-besaran dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.

Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan-kunjungan rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [3] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta-pendeta Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan-ramalan Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.

Catatan Kaki:
[1] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor ’streams of belief’ (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local ‘customs and traditions’ (adat).

[2] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.

[3] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga’s younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya’s predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.

Referensi:

Adorno, T. W. 1978. ‘Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda‘. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.
Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.
Buchari 1968. ‘Sri Maharaja Mapanji Garasakan’. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
Ellingsen, P. 1999. ‘Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line‘. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.
Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.
Hefner, R. 1987. ‘The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java‘. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.
Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.
Hefner, R. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.
Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
Lyon, M. 1980. ‘The Hindu Revival in Java”. In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Ramstedt, M. 1998. ‘Negotiating Identity: ‘Hinduism’ in Modern Indonesia‘. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
Reuter, T. 1998. ‘The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali’. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.
Schwartz, H. 1987. ‘Millenarianism: An overview’. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.
Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.
Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.
Stewart, K. & Harding, S. 1999. ‘Bad Endings: American Apocalypsis‘. Annual Review of Anthropology 28:285-310.
Stewart, P.J. 2000. ‘Introduction: Latencies and realizations in millennial practices‘. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]
Timmer, J. 2000. ‘The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia’. . Ethnohistory 47(1):29-65.

Catatan:

Dr Thomas Reuteradalah peneliti di Queen Elizabeth II, University of Melbourne’s School pada program studi Antropologi, lingkungan dan geografi. Artikel yang memuat hasil penelitian beliau yang dipublikasi oleh Australian Journal of Anthropology dapat di baca di link ini.


Program PTC (paid to click) di http://bux.to/?r=yusielani merupakan program PTC yang sangat unggul. Anda bisa menjadi member kami tanpa biaya sepeserpun, dan sebagai member anda dibayar $0.01 dari setiap link yang anda klik. Untuk menambah penghasilan, maka anda bisa mengajak orang lain untuk bergabung sebagai team kerja anda. Setiap klik yang dilakukan oleh team anda maka anda juga akan mendapatkan tambahan $0.01 per klik per anggota team.

Contoh Penghasilan Anda :
- Anda mengklik 30 iklan perhari = $0.30
- Anda memiliki 20 referral (anggota) yang mengklik 30 iklan perhari = $6.00
- Penghasilan harian anda = $6.30
- Penghasilan mingguan anda = $44.1
- Penghasilan bulanan anda menjadi = $189.00

Contoh di atas hanya mengambil sample 20 orang anggota anda dengan 30 klik perhari. Suatua saat anda akan memperoleh klik lebih dari itu dan juga bisa kurang dari itu. Lalu bagaimana bila jumlah referral anda lebih banyak dari itu?

Caranya bergabung :
1. Klik http://bux.to/?r=yusielani
2. Klik link "Register"
3. Isi seluruh item yang diminta. (kalau belum punya email alertpay, registrasi di http://www.alertpay.com/)
4. isi referrer anda : yusielani (harus diisi, agar tidak terjadi dispute dikemudian hari)
5. sesudah semua kotak terisi, klik tombol "register"
6. check email anda.

Setelah anda melakukan registrasi, maka anda sudah bisa melakukan login ke akun anda dan melakukan aktifitas menuai dollar setiap hari, yaitu dengan cara mengklik iklan yang ada pada saat itu. Lakukan aktifitas ini setiap hari, maka akun anda akan terus bertambah.

Untuk mempercepat kesuksesan anda, maka ajaklah teman dan sahabat anda untuk bergabung dan menjadi bagian dari team anda, karena setiap kali team anda melakukan aktifitas (klik iklan) maka akun anda juga akan ikut bertambah. Semakin banyak sahabat anda yang bergabung maka semakin banyak sahabat anda yang anda ajak untuk sukses bersama.


Majapahit. Masyarakat Jawa cukup kental dengan nuansa spiritualitas yang berhubungan dengan leluhur. Tidak salah memang, walaupun di dalam masyarakat Jawa sendiri sudah banyak menganut agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Melihat kembali beberapa ratus tahun yang lalu, bahwa kehidupan masyarakat tidak lepas dari kepercayaan kepada leluhur. Dari kepercayaan leluhur ini, masyarakat Jawa khususnya membangun kehidupannya.

Leluhur, bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai yang bercikal bakal. Artinya leluhur dipercayai sebagai wujud dari sebuah komunitas masyarakat yang sedang berkembang sampai terbentuknya sistem di dalamnya. Proses berkembangnya komunitas sampai pada kehidupan masyarakat yang paling mendasar, yaitu kepercayaan. Masyarakat membutuhkan sarana untuk sampai pada yang memberikan hidup dan segala alamnya. Terbangunnnya kepercayaan ini, tidak lepas dari peran leluhur yang dipercayai memberikan kenyamanan dan kehidupan yang lebih baik. Agama apapun yang dianut masyarakat Jawa sekarang ini, tidak akan pernah lepas dari unsur kepercayaan terhadap leluhur.

Kemudian apa hubungannya dengan judul di atas? Di kawasan pesisir pantai selatan kabupaten Gunung Kidul, ada sebuah kepercayaan yang berkembang di masyarakat sekitar. Di salah satu pantai ini, dipercaya oleh penduduk setempat sebagai lokasi dimana Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit melarikan diri, karena runtuhnya Majapahit. Di tempat ini pula Sang Raja moksa (hilang tanpa meninggalkan badan jasmani). Cerita ini berkembang selama bertahun-tahun tanpa ada bukti nyata kehadiran Sang raja di pantai ini (kalaupun ada mungkin hanya orang tertentu saja yang tahu).

Dari cerita atau mitos ini tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa, sejarah kehadiran sang raja bisa dipercaya atau tidak. Berkembang pula sebuah keyakinan mengenai cikal bakal dari masyarakat Gunung Kidul yang merupakan keturunan Majapahit yang melarikan diri karena kejaran tentara Islam Demak. Memang untuk membuktikan mitos atau cerita yang berkembang di masyarakat ini sangat sulit. Namun masyarakat setempat sangat percaya dengan cerita yang turun temurun mereka dengar dari para leluhur dahulu. Sebuah cerita yang berkembang di masyarakat bisa dipercaya sebagai fakta ataupun hanya mitos, tergantung dari sudut pandang kita menganalisa.

Sebagai contoh , faktanya bahwa cerita ini berkembang dengan sangat kuat dan terpendam cukup lama di tengah masyarakat. Terlepas dari ditambah ataupun dikuranginya cerita mengenai kehadiran sang raja atau masyarakat keturunan Majapahit tersebut. Kedua cerita ini bisa saling dikaitkan dari latar belakang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke 15.

Pertama, bisa saja cerita bahwa masyarakat Gunung Kidul adalah keturunan dari pelarian Majapahit adalah sebuah fakta. Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang geografis Gunung Kidul yang merupakan daerah pegunungan (hutan dan goa cukup banyak di tempat ini). Tentunya daerah ini aman bagi pelarian dari Majapahit.

Kedua, cukup banyak masyarakat Gunung Kidul yang beragama Hindhu Jawa. Masyarakat Hindhu ini, beberapa ditemukan di daerah pesisir pantai beserta bangunan pura. Memang sejak awal bahwa masyarakat nusantara ini menganut agama Hindhu, Budha dan animisme maupun dinamisme, namun bukan berarti dengan ditemukannya komunitas masyarakat Hindhu bisa menjadi pembenaran alasan kedua.

Ketiga, komunitas masyarakat Hindhu Jawa di daerah ini cukup kuat dengan masih mempertahankan tradisi agama mereka. Keempat dari sudut pandang politik, pelarian masyarakat Majapahit ke daerah ini beralasan. Karena kalau mereka melarikan diri keutara tentunya sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di daerah utara pula (sekitar pantai utara Jawa) banyak ditemukan komunitas para pedagang beragama Islam. Ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka melarikan diri ke wilayah pesisir utara. Satu-satunya jalan melarikan diri tentunya ke wilayah barat dan timur (dalam hal ini sebagian bangsawan Majapahit melarikan diri ke Bali), sedangkan di barat wilayah Gunung Kidul cocok untuk melarikan diri. Daerah ini pula secara politis tidak dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak, setidaknya pengaruh kekuasaannya tidak sampai ke pesisir pantai selatan.

Apa hubungannya antara keturunan Majapahit dengan Kehadiran Brawijaya V? Sebagai seorang Raja yang diyakini masih keturunan dewa, tentunya kehadirannya sangat dinantikan. Bisa juga Raja masih terikat secara emosional dengan rakyatnya. Dengan begitu di saat rakyatnya melarikan diri ke suatu wilayah, sosok kewibawaan sang Raja terbawa di tempat pelarian. Hal ini dilakukan sebagai wujud legitimasi perlindungan sang Raja terhadap rakyatnya di tempat pelarian. Maka untuk lebih mempererat senasib sepenanggungan, sosok sang Raja ini dimunculkan selama proses pelarian. Agar ada kesan bahwa kesetiaan sang Raja terhadap rakyatnya sampai pada ujung bumi. Dengan minimnya bukti konkret, masyarakat secara luas kiranya bisa memberi persepsi yang berbeda. Dengan adanya bangunan keagamaan dan kepercayaan di pantai ini, bolehlah kita memberi penghargaan yang luar biasa. Sebab ada hal yang bisa dipelajari dari sebuah multikulturalisme. Yaitu keterbukaan akan sebuah perbedaan serta menghormati. Namun apapun itu, kiranya kita harus menghargai cerita yang berkembang sebagai wujud penghormatan akan nilai-nilai religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk.


Majapahit. Meskipun tidak banyak, kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka(929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata.



Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.



Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri,Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M (1405 M?). Prasasti ini menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci.



Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman, yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada.



Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Siwa. Kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru.



Dewa guru adalah seorang siddhapandita (pendeta yang sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala. Sebenarnya mandala adalah tempat tinggal pendeta di hutan atau di tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri.



Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama mereka tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha.



Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M.



Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.



Hubungan antara orang Walandhit dengan agama Hindu bukan hanya terlihat dari prasasti kuna yang telah ditemukan, tetapi juga dari naskah-naskah kuna yang ditulis pada zaman Majaphit. Dalam naskah Tantri Kamandaka, misalnya, segara wedhi atau laut pasir digambarkan sebagai jalan lintasan arwah manusia yang harus disucikan dulu sebelum naik ke kahyangan. Proses penyucian arwah tersebut juga digambarkan dalam mantera upacara entas-entas, sebuah upacara adat Tengger. Dalam upacara adat ini api penyucian dari Dewa Siwa dan Dewi Uma digunakan untuk menyucikan arwah manusia agar sang arwah dapat naik ke kahyangan.



Sebelum diberangkatkan, sang arwah ditempatkan di dalam sebuah kuali maron yang merupakan simbolisasi dari kawah Gunung Bromo.



Perhatian dan ketertarikan kepada kekhasan peribadatan orang Walandhit, yang kemudian disebut orang Tengger, bukan hanya terjadi pada zaman Majapahit saja, melainkan juga pada zaman penjajahan, dan bahkan sampai pada zaman internet sekarang ini. Tentang sejak kapan komunitas yang tinggal di kawasan Bromo- Tegger-Semeru tersebut disebut orang Tengger, belum ada keterangan yang jelas.



Orang Tengger sendiri sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger juga menegaskan bahwa kata Tengger mengacu kepada pengertian Tengering Budi Luhur (Tanda Keluhuran Budi Pekerti).



Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa daya tarik Tengger bukan hanya terletak pada pemandangan alamnya yang mempesona saja, melainkan juga kekhasan status keagamaan dan adat-istiadatnya. Hal ini bukan hanya dikemukakan oleh para pemerhati asing, melainkan juga pemerhati dalam negeri, sejak zaman Majapahit sampai dengan zaman Keraton Surakarta yang telah memeluk agama Islam. Sampai sekarang, kekhasan itu masih mampu menyedot perhatian orang luar Tengger, terbukti dengan ramainya kunjungan wisata pada perayaan Kasada setiap tahun.



Status keagamaan orang Tengger yang khas ini dipaparkan secara panjang lebar dalam Serat Centhini, sebuah karya tulis yang penulisannya diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang kemudian setelah naik takhta bergelar Sinuhun Paku Buwana V di Surakata. Dalam Serat Centhini diceritakan pertemuan antara Raden Jayengsari yang Muslim dengan Resi Satmakayang Buda.



Pertemuan tersebut terjadi di Desa Ngadisari, desa paling puncak dikawasan Tengger yang juga paling dekat dengan Gunung Bromo. Dalam pertemuan tersebut Resi Satmaka menceritakan adat dan tata cara beragama orang Tengger dan agama-agama dewa, seperti dewa Sambo, Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, dan Kala.



Sebaliknya, Raden Jayengsari juga menceritakan tentang agama-agama yang dibawa oleh para Nabi, sejak Nabi Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Dawud, Musa, Isa sampai dengan Nabi Muhammad s.a.w.



Pada zaman penjajahan, identitas Tengger mengalami pasang surut dalam perjalanan dan perkembangannya. Sebelum paruh ke-2 abad ke-19 para pejabat Belanda dan wisatawan Eropa menulis laporan bahwa orang Tengger sangat mengenal dewa-dewa Hindu yang menjadi fokus peribadatan mereka. Akan tetapi setelah itu dewa-dewa tersebut tidak lagi memasyarakat karena pada akhir abad ke-19 daerah Tengger mulai terkena dampak revitalisasi Islam yang muncul di pemukiman muslim yang terletak di kaki pegunungan Tengger.



Keadaan semakin berubah setelah pejabat setempat menekan orang Tengger untuk berpindah agama.



Perkembangan-perkembangan tersebut menyebabkan krisis identitas pada orang Tengger dan menipisnya kepercayaan diri terhadap tradisi lokal mereka. Tradisi Tengger makin terabaikan ketika Jepang menjajah Indonesia, karena pada waktu itu hanya sedikit orang Tengger yang memiliki cukup uang untuk biaya upacara. Mulai saat itu banyak teks-teks doa Tengger yang disembunyikan dan ditemukan beberapa tahun kemudian dalam keadan rusak karena rengat dan cuaca.



Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger



Orang Tengger kaya akan upacara adat tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah sebagai berikut :



1. Upacara Kasada.

Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.



Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di Kawah Bromo. Selain meminta sesuatu, dukun Tengger juga memberi sesuatu, yaitu melaksanakan amanat Raden Kusuma yang diucapkan pada masa lalu yang berbunyi sebagaiberikut:



“Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.” (“Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”).



2. Upacara Karo.

Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan Lebaran atau hari raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia tersebut orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.



Bagi orang Tengger, hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu tersebut merupakan saat yang penuh suka cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin menebus seluruh kecapekan dan kejenuhan kerja seharian penuh di ladang yang telah mereka jalani selama satu tahun. Seluruh lapisan masyarakatTengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu, Kristen, Budha maupun Islam menyatu dalam suka cita perayaan Karo.



Hari raya Karo akan makin meriah apabila hasil panen orang Tengger bagus. Mengapa orang Tengger menyelenggarakan upacara atau perayaan Karo?



Sebagian pewaris aktif tradisi Tengger dengan tegas mengatakan bahwa perayaan dan selamatan Karo merupakan hasil kesepakatan Kanjeng Nabi dan Ajisaka untuk mengenang gugurnya dua abdi yang bernama Setya atau Alif dan Satuhu atau Hana, pengikut setia kedua tokoh tersebut. Menurut mereka, makna Karo adalah nylameti wong loro “mengadakan selamatan untuk dua orang”, si Hana dan si Alif atau si Setya dan si Satuhu. Sebagian lagi mengatakan bahwa kisah kesepakatan Kanjeng Nabi dan Ajisaka tersebut hanya kisah yang dibuat-buat (Lihat Sutarto, 1997: 211-212).



3. Upacara Unan-Unan.

Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu Nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’, maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban.



4. Upacara Entas-Entas.

Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.



5. Upacara Pujan Mubeng.

Upacara ini diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger, tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga desa.



6. Upacara Kelahiran.

Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkait. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras). Maksud dari upacara ini juga untuk memohon keselamatan. Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai berbicara. Rangkaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”, yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).



7. Upacara Tugel Kuncung atau tugel gombak

Diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa.



8. Upacara Perkawinan

Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan nasih berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus diadakan upacara ngepras, yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.



9. Upacara Kematian

Diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian.



10. Upacara Barikan

Diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger. Jika kejadian-kejadian alam tersebut memberi pertanda buruk maka lima atau tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala) yang bakal datang. Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut menurut ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh warga berkumpul dipimpin oleh kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara barikan ditanggung oleh seluruh warga desa.



11. Upacara Liliwet

adalah upacara untuk kesejahtaraan keluarga. Upacara ini diadakan di setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian rumah termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat tempat yang diberi mantra adalah dapur, pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan biasanya orang Tengger tidak memulai menggarap ladangnya.



Dan masih banyak lagi upacara lain sebagai produk budaya yang tak bisa diraba (intangible) yang terdapat di wilayah ini.


Majapahit. Pada jaman dahulu banyak sekali Cerita Kepahlawanan yang dapat dijadikan Suri Tauladan dimana Kerukunan sangat dihargai. Bahkan Bung Karno (Presiden I RI) pernah berkata bahwa "janganlah berpolitik seandainya anda belum membaca cerita SAMKOK, Cerita Sie Djien Kwie Tjengtang diteruskan Tjengsee, Bharata Yudha, Wajang Poerwa, Palguna Palgunadi, Ming Hyang Nie dll". Setelah itu, pada tahun 1965 terjadi Pembunuhan manusia secara besar-besaran dengan mengecap orang yang dibunuh sebagai Komunis. Tulisan Cina juga dilarang, sampai-sampai kegiatan di Klenteng dan apapun yang berbau Budaya Cina dilarang. Sejarah Kepahlawanan ditutup dan tidak boleh disebarluaskan. Banyak sekali pahlawan Pejuang Kemerdekaan dipenjarakan, seperti misalnya Bung Tomo, juga pernah ditahan. Gubernur Bali, Sutedja, juga hilang di culik sampai kini tak ketahuan dimana rimbanya. Pendopo yang berani memasang foto Bung Karno segera dihancurkan, bahkan orangnya bisa di bunuh dan di cap PKI. Setelah itu Cerita-Cerita Arab yang mulai dikembangkan dan lebih dominan. Dakwah di desa-desapun hanya bercerita mengenai masalah Agama Islam, pengetahuan rakyat sangat minim, apalagi saat itu, hampir semua orang takut membaca cerita-cerita yang berbau Cina (cerita non-Islam), padahal kita semua adalah saudara. Makam Cina banyak yang digusur, ijin pendirian Gereja juga tidak pernah ada. Punden/Tempat Pemujaan Leluhur dihancurkan seperti misalnya Batu di Makam Mbah Jonggo Bukit Karanggayam Trenggalek di Gelundungkan kebawah, akan tetapi anehnya batu itu bisa kembali ketempatnya semula, dan banyak lagi Sarean-sarean yang tidak luput dari Penghancuran, Ruwat deso juga diberantas di anggap Musrik, bahkan Larung Sesaji di Telaga Ngebel Ponorogo dilarang Bupati [berita koran]. Adat Jawa diberantas habis-habisan, banyak sekali penganut Kejawen yang dibunuh. Dengan demikian maka banyak masyarakat kita yang buta terhadap Sejarah sendiri. Jangankan cerita Rakyat, Buku Tentang Bung Karnopun dilarang, semua Buku dianggap Komunis. Sehingga kalau dilihat sejak 1965 s/d 2009, maka bila pada waktu itu seseorang berusia 10 tahun, maka pada saai ini kemungkinan dia adalah seorang Kiyai berusia 59 tahun. Mereka tidak mengenal siapa sebenarnya Bung Karno Pendiri R.I, Penggali Pancasila. Sejarah benar-benar ditutup, sampai akhirnya terjadi Reformasi, sehingga Hari Raya Nyepi dan Waisak merupakan Hari Libur Nasional, budaya Barongsai diijinkan kembali, dipedesaan, hampir semua orang tidak mengetahui apa itu Budha. Karena mereka tidak pernah mendengar cerita mengenai Sidarta. Kaum Konghucu yang Warganya menikah tidak diberikan surat, berita memenuhi Media, Rakyat dididik untuk anti terhadap Agama selain Islam. Pejabat dengan sinis mengatakan Orang Cina Nyembah Pekkong, ini sangat mengejutkan, ternyata semua tertulis nyata dalam Buku Tan Koen Swie, yang baru awal 2009 diterbitkan sebagai Sejarah Kadiri. Sama ketika 500 tahun yang lalu Orang selain islam dikatakan Kafir/Kufur/Batil/Kawak/Kuwuk dll, kitab Buddha dan Lontar-Lontar dibakar, tahun 1965 sama juga. Prof. DR Slamet Moelyana, seorang Pakar Majapahit bukunya juga dilarang beredar, Beliau sampai Mengajar di Universitas Nan Yang Singapura [majalah Tempo]. Jadi apapun yang berbau Majapahit, Bung Karno, Komik Lokal tidak boleh beredar, justru Cerita Arab, Kepahlawanan Perang Salib anak anak pada Hafal, Perang Arab Israel, dimana Israel dijelek-jelekkan, kita diajar Larut mengikuti Cerita Timur Tengah khusus cerita Nabi, Komikpun yang berbau bukan Arab sangat langka, kalau tidak salah ada Komik “Serangan 1 maret di Jogja” yang beredar di pedesaan jawa Tengah. Sejarah memang ada, itupun kalangan terbatas, Ada sejarah Senirupa jilid 2 tapi untuk Mahasiswa seni, disitu ada Candi-Candi Majapahit untuk Orang Seni Pematung/Pelukis yang mungkin juga kurang diperhatikan, Hak pengarangpun dibatasi, buku banyak dilarang, pikiran dipersempit/diperbodoh, tidak ada buku perbandingan selain buku cerita Rosul Arab, jadi monoton, Agamapun Monoton, selain pendirian Masjid jangan harap dapat ijin, Gereja pun banyak dirusak/dibakar, tontonan kekerasan Agama hingga kini selalu primadona. Bisa menghancurkan Sanggar Sapto Darmo, Membakar Kampus/Masjid Ahcmadiah, Ribut Agama melecehkan Agama lain dsb dst dll berita Afdol di TV. Pidato-Pidato hanya kebesaran Arab di pedesaan, Pengajian keliling tiap rumah, nanti orang bikin Acara selain Acara Arab sudah di curigai, sampai Jaranan harus ada ijin, Samrohan, terbangan pokok seni Arab bebas. Karena mayoritas, akhirnya sudah sangat menguasai dianggap pedesaan sudah seperti di Arab, Busanapun Arab. ini makin menjadi-jadi sampai Warung Buka di Ramadan di TV dipertontonkan, Satpol PP ribut sama pemilik warung yang dilarang buka, Orang makan lari terbirit-birit, dipertotonkan seolah-olah sedang di Arab 1000 tahun yang lalu, di Arab saat ini tidak separah di Negri ini, berita Arab paling Nyoting Para Tenaga Kerja Ratusan tinggal di Bawah jembatan di Arab, Babu Mati ditangisi Keluarganya, Petinya baru datang dari Arab, Wanita luka parah pulang dari Arab dikirim ke Singapura berobat, Yang Spektakuler itu Abu Ali ditangkap Densus 88 membiayai Teroris, Tapi kini hilang sudah, Pengepungan Teroris diwarnai berondongan Bedil ala Film TV jam 21.00 di Trans/Glogal. di Trowulan Takmir/Imam Karyona Kupluk’an Kaji dan Selempang Kain Arab di Bahunya, bak Pemilik Negara Sliwar Sliwer memata-matai Pura Majapahit, tempat Leluhur Nusantara, yang dianggap kegiatan setan dan musuh negara [Arab?], ada orang Bali yang datang, cepat menggalang anak buahnya Nyerbu Pura, bukannya aparat membantu Pura, malah Pemilik Pura Majapahit [korban] dipanggil Surat Resmi ke POLRES Mojokerto, Akhirnya 5 Pengacara dari UNTAG mendampingi, dan dari Pengacara kini Hyang Suryo Pemilik Pura/Keraton Majapahit dilarang mendatangi panggilan apapun, tiap panggilan harus diserahkan Pengacara, demikian ironisnya Hidup di Pedesaan, Apalagi Trowulan Pusat Majapahit yang harusnya dijaga, dibuat Percontohan Pancasila, Karena disinilah Pernah Tinggal Mpu Tantular, serta Kebesaran Majapahit, bukan diserahkan segelintir Orang Arab berpisik Jawa, menerapkan Adat arab 500 tahun yang lalu [Arab sekarang Moderen, Babu ngimport dari sini], Sudah sejak Jaman Dahulu Cerita 1001 Malam Abunawas itu Dongeng Ngibul seperti Lampu Aladin dll, Orang diberi Harapan Punya Jin dan Kaya, padahal Cerita lebih Hebat milik Bangsa Sendiri, banyak seperti Pendirian Candi Sewu hanya semalam, Roro Jonggrang, Panji Asmoro Bangun, Mahisasura Gunung Kelut dll Cerita Rakyat 1001 malamnya Lokal, seperti Pura Majapahit memamerkan Acara Srada /Odalan Zaman Majapahit, dimana tidak perlu biaya Orang tulus iklas Upacara di Candi Yang jelas siapa yang melinggih, ini malah dilarang, memuja Leluhur sendiri dengan Acara asli Majapahit ditangani ahlinya, bukan rekayasa, Tapi dicurigai, memang karena banyak Orang Maling teriak Maling, Orang tukang Nipu orang lain pun dianggap Nipu, memang Nipu itu Hak asasi, Contoh Arab nipu Mati Ngebom nanti dijemput Bidadari, sah-sah saja, yang ditipukan mau ngebom bunuh diri, risikonya ada komplotannya dikepung Densus 88 dan mati ditembak. Malah ini cocok dengan Hukum Karmapalanya orang Jawa “Nandur Bakal Metik” istilah keren nya “Menabur Angin Menuai Badai” jadi Pura Majapahit nyata, upacaranya ternyata ada di Kitab NEGARAKERTAGAMA ngupacarai Ibu, di Pura Majapahit Ibu Ratu Mas bukan diambil dari kitab Arab, Candi Tempat Leluhur stil Majapahit biarpun kecil, Gapura Rumah Stil Majapahit dan satu-satunya di Trowulan yang memakai Kuri Agung Tumpang 3 yaitu Rumah Majapahit, semua dibikin nyata bukan dongeng, tapi dilarang bahkan ditutup olrh MUSPIKA atas perintah Imam/Takmir Karyono Wakil Arab.

Baca Juga Artikel Lainnya :

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action
lowongan investasi kerja di internet
internet marketing

Recent Comments

free counters