Majapahit. Oleh : Ngarayana
Sejak hampir sepuluh tahun yang lalu para tokoh-tokoh di Bali selalu mendengung-dengungkan kata “Ajeg Bali”. Istilah ajeg Bali dicetuskan oleh seorang bos media masa Bali Post, dan Bali TV asal Lumajang, Tabanan. Ide awal didengungkannya istilah ajeg Bali ini adalah dari kekawatiran akan lenyap dan tergerusnya budaya Bali dari pulau Bali mengingat rongrongan budaya asing yang begitu kuat. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa jika pemuka masyarakat Bali hanya berpangkutangan menyaksikan getolnya para misionaris dan kaum dakwah melebarkan sayapnya di pulau Bali, maka pulau Bali hanya akan tinggal kenangan. Namun, sudahkan usaha Ajeg Bali yang berlangsung hampir sepuluh tahun ini menunjukkan buahnya?

Seorang editor majalah News Week yang juga merupakan salah seorang keturunan keraton Solo, Surya Sasongko bercerita disela-sela kesibukannya mengurus Art Shop miliknya yang berlokasi tidak jauh dari alun-alun utara keraton Jogja. Beliau mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi Indonesia dan Bali saat ini. Beliau menceritakan tiga puluh tahunan yang lalu saat diajak ibu dan ayah tirinya ke Amerika Serikat, beliau masih melihat budaya Indonesia yang sangat menawan. Beliau melihat pulau Bali masih “cukup perawan”, indah dan masih layak menyandang predikat pulau Dewata. Namun apa yang terjadi saat beberapa tahun yang lalu ketika beliau kembali ke Indonesia? Katanya, Indonesia benar-benar berubah 180 drajat. Kota Solo dan Jogja yang dulunya dipenuhi dengan penduduk yang mengagungkan budaya jawa dan kearifan lokal telah berubah menjadi tidak ubahnya seperti negara Arab. Pulau Bali yang dulu masih asri, dihiasi dengan banyak pura, arsitektur Bali dan penduduknya yang ramah sekarang dihiasi dengan banyak bangunan-bangunan suci “tetangga”. Kota Denpasar yang dulunya hening dengan kidung dan geguritan lokalnya sekarang riuh dengan “irama import”. Penduduknya yang dulunya terkenal jujur dan ramah sekarang sudah menjadi acuh tak acuh. “Kemanakah Jogja, Solo dan Bali yang dulu saya kagumi?” Ujarnya. Tentunya bapak Surya Sasongko bukanlah satu-satunya orang yang merasakan fenomena ini, saya yakin anda semua yang sudah lama merantau keluar Bali atau Indonesia dan memandang secara flash back kondisi Indonesia dan Bali saat ini akan mengungkapkan hal yang serupa.

Lalu apa yang salah dengan ajeg Bali? Apakah program ajeg Bali terlambat mengatasi pengaruh negatif dari luar ataukah ajeg Bali memang tidak punya daya dan mandul?

Ada sangat banyak tokoh-tokoh Bali yang tanpa pambrih berusaha keras memperjuangkan kelestarian pulau Bali, tetapi ternyata usaha-usaha mereka tetap seperti jalan ditempat. Karena itu pastilah ada yang salah dengan slogan ajeg Bali yang senantiasa kita dengung-dengungkan selama ini.

Pada dasarnya Bali masih ada sampai saat ini hanya karena beruntung. Bali tetap ada lebih karena power dari luar, bukan karena inner power yang masyarakat Bali miliki. Sebagaimana surat berupa lontar bertanggal 1935 yang disampaikan raja Kelungkung selaku wakil raja-raja Bali kepada orang-orang Portugis di Malaka dimana dia menyatakan “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Namun untungnya pada masa itu penjajahan kolonial Hindia Belanda menetapkan undang-undang yang melarang para misionaris melakukan kristenisasi di Bali sebagai mana yang tercantum dalam pasal 177. Andaikan saja Belanda tidak melindungi Bali pada waktu itu, maka sebagian besar masyarakat Bali sudah menjadi Kristen. Kenyataan ini dapat kita saksikan pada saat undang-undang pelarangan Kristenisasi dicabut dan para misionaris dengan leluasanya menyebarkan ajarannya di Bali dalam waktu singkat beberapa banjar di daerah Dalung menyatakan diri sebagai Kristen. Keberadaan mereka menjadi samar-samar setelah adanya program transmigrasi dimana sebagian dari mereka ikut terbawa dan menyebar ke luar Bali.

Dewasa ini, pertahanan budaya Bali yang terakhir hanyalah sistem adat hasil kerja keras Mpu Kuturan beberapa ratus tahun yang lalu. Masyarakat adat sering kali memberikan sangsi moral kepada penduduknya yang keluar dari adat. Namun apakah sistem adat ini masih relevan dengan kondisi Bali yang saat ini sudah dipenuhi oleh pendatang?

Saat ini sistem adat bahkan diindikasikan menjadi titik lemah dalam pelestarian Bali di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan karena adat hanya membebankan kewajiban secara parsial kepada orang-orang yang bermukim di daerahnya. Para pendatang sama sekali tidak terkena hak dan kewajiban dari adat, sehingga implikasinya, sering kali terjadi kecemburuan sosial bagi masyarakat asli dan merupakan celah lebar untuk keluar dari adat. Orang Bali tidak ubahnya hanya dijadikan sapi perah yang menelurkan berbagai seni budaya dan hanya dijadikan “objek pertunjukan” bukan sebagai subjek. Subjek penikmat dari semua itu hanyalah para investor asing. Oleh karena itu, beberapa masyarakat Bali intelek tetapi tidak dibekali dengan pemahaman agama yang baik sering kali berkata; “Buat apa mengikuti kewajiban adat yang sangat memberatkan kalau seandainya keluar dari adat dengan cara menjadi pemeluk agama lain tidak masalah sebagaimana halnya penduduk pendatang?”. Dengan kondisi ini, siapa yang akan kita salahkan?

Para misionaris yang memiliki pendanaan yang sangat besar saat ini sangat aktif bergerilia “menyelamatkan” masyarakat Bali. Sektor pendidikan dan ekonomi mereka sudah mencengkram Bali. Mereka lebih sering mempengaruhi masyarakat yang secara ekonomi terbelakang dan juga masyarakat yang merasa terbebani oleh adat. Bahkan kesulitan akan area pemakaman yang dulu pernah terjadi karena adat melarang penduduknya yang berada di luar adat dimakamkan di sana telah teratasi dengan penyediaan area pemakaman khusus bagi mereka yang keluar adat. Bagaimana tidak, walaupun secara hukum adat semua tanah yang terletak di wilayah adat adalah milik adat, namun apakah itu sejalan dengan hukum kepemilikan tanah di negara kita? Jadi wajar kita pura dan kuburan masyarakat Bali dibeli dan dijadikan “tempat ibadah dan kuburan lain”. Sementara itu untuk menyiasati kemelekatan masyarakat Bali pada aspek budaya yang dianggap unggul dan memiliki nilai jual keluar, para misionaris juga melakukan pendekatan budaya. Mereka melakukan promosi agama dengan memperlihatkan akulturasi dengan budaya Bali, mulai dari seni tari, musik sampai kepada tempat sembahyang yang “disamarkan” menyerupai “pura”, tetapi berlambang salib. Benar-benar kamuflase yang luar biasa yang siap mengecoh para masyarakat Bali yang “bodoh”.

Lalu bagaimana menyiasati masalah ini? Dapatkah masyarakat Bali tetap bertahan dengan keindahan adat istiadat, kesenian dan budayanya tanpa adanya Hindu di sana? Apakah dengan menggantikan sistem kepercayaan Hindu dengan agama lain seperti contohnya kepercayaan Kristen kedalam budaya Bali akan menyelamatkan Bali dari kehancuran?

Untuk mencoba membuat hipotesis akan hal ini, mari kita coba melihat sejarah Bali ke belakang. Apa dan bagaimana Bali di bangun serta apa yang menjadi daya jual Bali kepada masyarakat macanegara.

Terlepas dari kontroversi bagaimana sejarah Bali sebelum adanya hubungan pulau Bali dengan kerajaan-kerajaan dari jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sendok (988 M) di Bali sudah berkembang ajaran Veda yang sangat kuat. Hampir semua cabang aliran Veda berkembang subur di pulau Bali. Tercatat bahwa ada sembilan paksa yang berbeda yang berkembang saat itu, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Buddha). Bahkan jauh sebelum itu ternyata sudah terjadi hubungan yang sangat erat antara Bali dengan orang-orang dari berbagai belahan di dunia, termasuk India dan China yang dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan lontar dari sekitar gunung Batu Karu, Tabanan. Lontar tersebut mengisahkan bahwa pulau Bali sudah menjadi tujuan dharma yatra dan pertapaan orang-orang suci sejak dahulu kala. Lontar tersebut juga memberikan informasi yang mengatakan bahwa di Bali sudah berkembang dua pedepokan spiritual dan oleh kanuragan yang disegani di seluruh penjuru dunia, yaitu perguruan Bulan Matahari dan perguruan Bulan Sabit. Hanya saja akibat permusuhan yang tidak berkesudahan akhirnya kedua perguruan ini berperang sampai titik penghabisan sehingga hampir tidak ada satupun dari mereka yang selamat. Namun dikatakan bahwa ternyata ada seorang murid Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang selamat dari perang tersebut walaupun dengan luka yang teramat parah. Murid inilah yang akhirnya melahirkan perguruan silat, tenaga dalam dan meditasi “Suling Dewata” sebagaimana yang bisa kita temukan di Batu Karu saat ini. Disana juga dikatakan bahwa ajaran Kung Fu Shaolin memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pencak silat tersebut.

Pada saat pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terjadi banyak kemelut di pulau Bali. Raja kesulitan dalam mengendalikan rakyatnya baik karena adanya banyak masab dan juga karena tingkah polah masyarakatnya. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan mpu Genijaya. Yang paling bungsu, Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, yaitu sebagai Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan dan sebagai Ketua majelis Pakira-kira I Jro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

Atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat. Akhirnya Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat besar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok dan masyrakat. Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan–perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang, yaitu;

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar pemujaan pada Visnu, Brahma dan Siva karena dianggap dapat mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu, terutama paham Sivaism dan Vaisnava yang merupakan paham terbesar saat itu.
2. Diadakan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, dan untuk menerapan paham Tri Murti tersebut, didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu: (a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam material, (b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, (c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina. (d) Disamping itu, didirikan juga tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
3. Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
4. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.

Jika kita perhatikan dalam hasil pesamuhan agung tersebut terlihat jelas bagaimana usaha Mpu Kuturan menyatukan masyarakat agar dapat bermasyarakat secara lebih kompak dalam berbagai lini kehidupan sosioreligius, dan hal inilah yang menjadi warisan tak ternilai bagi masyarakat Bali saat ini. Hal yang menarik disini, ternyata Mpu Kuturan tidak semata-mata ingin menyatukan berbagai aliran yang berbeda dan mewujudkan masyarakat yang harmonis secara material, tetapi juga mengembalikan kehidupan masyarakat Bali yang pada waktu itu dapat dikatakan kacau untuk kembali ke dalam ajaran Veda yang otentik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikasi sebagai berikut:

a. Penyembahan kepada para dewa dialihkan menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang disebut sebagai Sang Hyang Widhi Wasa (Widhi = Vidhi = Yang Maha Kuasa).
b. Meskipun masyarakat diarahkan untuk bersembahyang bersama-sama dalam khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem), namun secara cerdas Mpu Kuturan telah membagi area desa pekraman kedalam tiga area, yaitu Utama Mandala dan Madya Mandala yang merupakan area pura Desa dan Pura Puseh dan Jaba mandala yang merupakan daerah pemukiman, pertanian, kuburan dan termasuk pura Dalem yang selalu terletak dekat dengan kuburan. Yang distanakan di Pura Desa (utama mandala) adalah Sri Visnu Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan original creator of all think. Dewa Brahma yang merupakan mahluk hidup pertama dan bertindak sebagai second creation diposisikan di pura puseh (madya mandala) dan Dewa Siva yang juga merupakan Tama Guna Avatara diposisikan dekat dengan kuburan. Konsep penempatan arena pemujaan ini sangat sesuai dengan sastra Veda (Tri Guna Avatara).
c. Dalam tataran rumah tangga, dengan pembangunan tempat suci keluarga berupa rong tiga akhirnya mendorong setiap orang memuja Tuhan Yang Esa yang disebut Hyang Widhi.
d. Padmasana juga didirikan dengan menempatkan Kurma Avatara (penjelmaan Tuhan) sebagai dasar dan menempatkan Burung Garuda Visnu di bagian belakangnya.
e. Semua mantra-mantra dalam upacara juga menggunakan kata “Om Tat Sat”, yang mengacu kepada Tuhan, Bhagavan. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 17.23; “17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa”.
f. Konsep Garuda Visnu Kencana juga menjadi maskot Bali yang paling utama.

Intinya, beberapa indikasi “terselubung” tersebut mengarahkan masyarakat Bali kembali ke ajaran Veda dan hal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam budaya Bali. Lalu mungkinkah budaya Bali dipertahankan jika pondasi dasarnya, yaitu Veda tergerus dan hilang dari Bali dan digantikan dengan dasar agama yang lain?

Jika kita ingin membangun Bali dari awal dengan wajah yang berbeda yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan Bali yang dibangun oleh Mpu Kuturan, maka tidaklah masalah menggantikan ajaran Veda dengan ajaran yang lain. Namun jika kita menginginkan Bali yang ajeg yang sebagaimana yang ada sekarang dan sebelumnya, maka tidak ada opsi lain kecuali kembali ke ajaran Veda. Pura kayangan tiga tidak akan bermakna jika dirubah menjadi tempat suci lain, malahan akan mengacaukan konsep Tri Mandala. Garuda Visnu Kencana yang mendunia tidak akan berarti apa-apa jika di “jidat”-nya harus dipahat lambang agama non Vedic. Padmasana akan kehilangan roh-nya jika lambang Tuhan yang disebut “Acintya” digantikan dengan salib. Seni tari dan lukisan yang didasarkan pada Hindu akan menjadi tanpa makna jika pondasi ajaran Hindu dihilangkan.

Jadi, jika anda adalah pemuda Bali atau orang yang masih menginginkan Bali terus ada, kembalilah ke ajaran Veda, gunakan Veda sebagai pondasi dalam melakukan berbagai hal di Bali. Membanggakan seni budaya dan keindahan Bali tanpa menjaga roh-nya, Veda hanyalah merupakan kebanggaan semu. Lalu bagaimana langkah kongkrit kembali ke ajaran Veda? Terapkan ajaran-ajaran dasar dari Veda. Segera hentikan segala tindakan yang menyimpang dari ajaran Veda seperti;

a. Penyimpangan sistem Varna Asrama yang dijadikan sistem wangsa
b. Lenyapkan prostitusi, tindakan asusia dan segala hal yang bersifat asurik
c. Hentikan sambung ayam berkedok caru di pura-pura
d. Jangan menjadikan “mekemit” sebagai alasan untuk melakukan perjudian “ceki” atau domino di tempat suci.
e. Tegakkan desa pekraman dan sistem adat dengan benar. dll.

Intinya, mari kita bentengi Bali dari dalam dengan kembali ke basic, yaitu ke ajaran Veda yang otentik. Hilangkan kata-kata “nak mulo keto” (memang seperti itu) dari kamus kita, kembalikan sistem pendidikan gurukula (pasraman) dalam tatanan desa pakraman dan terapkan sistem Varnasrama dan Catur Asrama dengan tepat. Jika tidak, mari kita persiapkan hancurnya “Pulau Dewata” yang kita bangga-banggakan selama ini.


Majapahit. Pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 2010 (Hari Tumpak Wayang), suasana PURI SURYA MAJAPAHIT BALI yang didalamnya terdapat Pura Ibu Majapahit, nampak demikian ramai. Terdengar irama musik Barongsai yang meledak ledak diantara suasana langit yang mendung pekat dan diiringi oleh hujan rintik-rintik. Ketika itu, tepat pukul 19.00 WITA, Guruh Sukarnoputra bersama-sama dengan Sri Wilatikta Tegeh Kori Kepakisan I (Raja Majapahit Bali) beserta rombongan, tiba di Kraton Ibu Majapahit. Rombongan tersebut langsung disambut oleh Hyang Bhatara Agung Surya Wilatikta Brahmaraja XI (Raja Abhiseka Majapahit Masa Kini), dan beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersila di Pendopo Agung Majapahit. Ucapan Selamat datang yang disampaikan oleh Empu Pandita Agung Majapahit GRP Prawirodipoero diteruskan dengan mengheningkan cipta yang diperuntukkan bagi Para leluhur, termasuk untuk mengenang Bung Karno sebagai leluhur Bangsa Indonesia.


Dalam sambutannya, Raja Abhiseka Majapahit Brahmaraja XI yang dipanggil sebagai Guruh Hyang Surya ini terdengar sangat lucu dan ilmiah. Dikatakan bahwa sebelum Guruh Sukarnoputra tiba, suasana alam sedemikian mendung dan di langit terdengar suara guruh yang berkepanjangan "Grudug...Grudug...Grudug..." di Langit dan cahaya halilintar menggelegar " Pyar...Pyar...Pyar" di bagian selatan Keraton, hal ini sangat mirip dengan Guruh yang Maestro Seni, bila Suara Mahardhika [Sanggar Seni Tari Guruh] mengadakan pertunjukan, maka suara musiknya terdengar berdentam-dentam kemudian sinar lampu sorotpun berkerlap-kerlip berganti-ganti warna. Hal ini sangat mirip dengan suasana alam yang bergemuruh. Hal inilah yang membuat para pengunjung turut bersorak-sorai penuh dengan tawa. Akan tetapi Brahmaraja kelihatan demikian serius dan mengatakan ini adalah ilmiah dan kasunyatan karena memang demikianlah guruh di langit pada saat itu. Yang kemudian membuat para pengunjung kembali terdiam hening.


Lebih jauh dijelaskan bahwa Guruh adalah putra pendiri Republik Indonesia (Bung Karno), Manusia Tersakti dan terpandai di dunia, dimana jumlah titel DOKTOR Bung Karno sebanyak 26 buah, jadi ini yang membuktikan bahwa Bung Karno orang yang terpandai, kemudian dikatakan tersakti, karena Bung Karno yang sejak sangat muda sudah keluar-masuk Penjara untuk kepentingan Kemerdekaan Indonesia dan sampai dibuang ke Ende, ke Bengkulu sampai mengenal Ibu Fatmawati yang telah melahirkan Guruh. Setelah menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia yang didirikannya, Bung Karno mengalami penggranatan, penembakan dan berbagai usaha pembunuhan, akan tetapi Bung Karno tetap hidup dan ini telah membuktikan bahwa Bung Karno adalah Orang Tersakti. Namun yang paling ironis adalah bahwa justru Bung Karno meninggal di dalam Tahanan Republik Indonesia yang didirikannya.


Pada acara pertemuan ini Brahmaraja XI juga menyerahkan Cindramata berupa Patung Ganesa, simbul Dewa Terpandai dan Tersakti. Simbul Bung Karno yang diterima Guruh Sukarnoputra dengan gembira.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng Tumpak Wayang oleh Brahmaraja XI dan potongannya kemudian diserahkan kepada Guruh. Potongan tumpeng juga diserahkan kepada Raja majapahit Bali, Sri Wilatikta Tegeh Kori yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Marhaen yang didirikan oleh Bung Karno pada tahun 1963 dan kemudian berganti nama menjadi Universitas Mahendradata, karena pada saat itu nama Bung Karno dilarang dan dihapus dari sejarah oleh Pemerintah Orba. Pucuk Tumpeng kedua diserahkan kepada Ramessharty dari World Hindu Youth Organization.


Acara kemudian diteruskan dengan sambutan dari Raja Majapahit Bali yang menganjurkan agar Ajaran Bung karno tetap dilaksanakan dan dilestarikan termasuk Pancasila dan Kerukunan NASAKOM [Nasional Agama dan Komunis] yang pada saat ini kita sudah kembali rukun dengan Rusia dan China yang memakai sistem pemerintahan Komunis dimana pada era perdagangan bebas ini, China berhasil menguasai Dunia, dan kita harus bisa menerima kenyataan ini. Tepuk tangan para Pengunjungpun terdengar demikian menggema.

Pada kesempatan itu, Guruh membuat Prasasti yang berbunyi "Semoga Sinar Surya majapahit selalu bersinar di Nusantara dan Dunia". Sambil menyalami Hyang Surya, Guruh berucap : "Saya akan tetap memanggil Hyang Suryo saja, kan lebih Akrab".

Acara kemudian diteruskan dengan meninjau Musium Pura Ibu Majapahit, dimana pusaka-puasaka kembar Majapahit di pamerkan. Guruh nampak berdecak kagum ketika melihat pusaka langka tersebut akan tapi tetap sepasang dan Guruh selalu menancapkan dupa pada pusaka yang dilihatnya, karena pusaka adalah Warisan Leluhur yang harus dilestarikan, dan ketika sampai di depan Pratima Airlangga, Guruh berdoa dan menancapkan dupa kemudian memerciki Pratima Prabu Airlangga itu dengan Tirta sebanyak tiga kali. Dan beberapa saat kemudian Guruh memperoleh percikan Tirta di kepalanya sebanyak tiga kali dari tangan Brahmaraja XI, dan kemudian tirtha tersebut diminum sebanyak tiga kali, dan tirtha ke-empat diusapkan kewajahnya.


Acara kemudian diteruskan dengan melihat Keris Empu Gandring, pada saat itupun Guruh kembali menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa kagum akan keindahan keris yang belum sempurna dan bergambar Naga Kembar tapi nampak demikian indah.

Guruh kemudian berdoa di Gedong / Klenteng tempat leluhur putri yang dari China, menancapkan dupa dan kemudian memegang Pedang Kerajaan China, dimana Pedang ini banyak dipegang oleh Caleg [Calon Legislatif] Pemilu 2009 dan semua yang berhasil memegang Pedang ini bisa masuk menjadi pejabat legislatif.

Guruh kemudian berdoa dihadapan dawang berkepala naga yang biasanya menjadi Kaki Candi, yang berfungsi sebagai penguat agar candi tidak goyang dan Naga berfungsi sebagai Pengikat yang disebut sebagai Putaran Mandara Giri. Dawang (Kura-Kura) yang terbuat dari Batu Giok pada masa Peninggalan Dinasti MING berangka tahun 1482 ini, sangat mirip dengan Dawang yang dikendarai oleh Dewi Kwan Im Bertangan Seribu yang kalau di Bali disebut sebagai Durga Mahisa Nandini, yang sering juga diupacarai di Universitas Mahendradata.

Dengan dikawal oleh tarian Barongsai, akhirnya pada pukul 22.oo Guruh meninggalkan Puri Majapahit. Doa restupun disampaikan oleh Hyang Suryo yang ber-Abhiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI, sambil memohon agar selalu selamat dan sejahtra dalam perjuangan di Ranah Politik yang sedang diembannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] dan Majelis Permusyawarahan Rakyat [MPR] Republik Indonesia, untuk melaksanakan cita-cita Bung Karno sebagai Ayah Biologis dan Idiologis dimana Ajaran Sukarno [Sukarnoisme] bisa dilaksanakan. Karena terbukti ajaran Sukarnoisme masih relevan pada saat kondisi bangsa yang mulai terpecah-belah, serta kurangnya Cinta Tanah Air [Nasionalisme]. Kita harus Berdiri Diatas Kaki Sendiri [Berdikari] dalam Bidang Ekonomi yang juga pernah diajarkan oleh Bung Karno serta Menyatukan Nasional, Agama dan Komunis [NASAKOM] dimana pada dekade 1965-1966 yang lalu Nasionalisme dan Komunisme berhasil ditumpas oleh Islam dan kini hampir menjadi Negara Islam, dimana Gereja Kristen banyak di Hancurkan, bahkan dibom, kebebasan beragamapun di Pasung oleh Islam, bahkan kepercayaan dan budayapun dihancurkan dan dituduh sesat oleh Majelis Ulama Islam Indonesia [MUII] dan bahkan banyak hal yang diharamkan, agar dapat mengikuti Quran dan Hadist Arab.

Majapahit. Oleh : Suralaga.
Ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Brahman: Brahman tidak bisa memisahkan Dirinya dari kita. Kenapa? Dalam ilmu spiritual Jawa disimpulkan dalam kalimat ya sira ya ingsun. Karena Brahman adalah hidup kita.

Kalimat sangkan paraning dumadi sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Jawa, terutama mereka yang mendalami ilmu spiritual. Ilmunya pun banyak yang menyebutnya dengan istilah ngelmu sangkan paran dengan manunggaling kawula lan Gusti sebagai pencapaian puncaknya. ini sangat sesuai dengan tuntunan Weda sehubungan dengan pelaksanaan dharma sadhana. Para rishi menyatakan bahwa kita bukan badan, pikiran atau emosi kita. Kita adalah jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman, hidup dalam Brahman dan berkembang menuju keesaan Brahman. Kita ada dalam kebenaran, Kebenaran yang kita cari-cari.

Kita adalah jiwa-jiwa abadi yang hidup dan tumbuh dalam langkah-langkah kemajuan yang mengagumkan dan pengalaman keduniawian di mana kita hidup menikmati Hidup. Para rishi Weda telah memberi kita keberanian dengan mengucapkan kebenaran sederhana, “Brahman adalah Hidup dan hidup kita.” Seorang siddhaguru membawa ini lebih jauh dengan mengatakan, ada satu hal yang tidak bisa dilakukan Brahman: ”Brahman tidak bisa memisahkan Dirinya dari kita. Kenapa? Dalam ilmu spiritual Jawa disimpulkan dalam kalimat ya sira ya ingsun. Karena Brahman adalah hidup kita.

Brahman adalah hidup pada burung.
Brahman adalah hidup pada ikan. Brahman adalah hidup pada hewan. Menyadari akan energi Hidup ini pada semua makhluk, kita akan menyadari kehadiran kasih Brahman dalam diri kita. Kita adalah kesadaran dan energi kekal yang meliputi segala hal. Di sisi dalam, kita ini sempurna setiap saat, dan kita harus mengetahui dan berbuat sesuai dengan penyempurnaan ini agar menjadi murni. Energi kita dan energi Brahman adalah sama, tidak ada bedanya sama sekali. Kita semua adalah anak-anak manis dan Brahman. Setiap han kita harus berusaha melihat energi hidup di pepohonan, burung, hewan dan manusia. Bila hal ini kita lakukan, kita melihat Brahman sedang beraksi. Weda meyakinkan, dia mengetahui Brahman sebagai Hidup dari hidup. Mata dari mata, Telinga dari telinga, Pikir dari pikiran, dia sungguh memahami sepenuhnya Sebab dan semua sebab.

Kim semua tumbuh berkembang meritju Brahman. Dan pengalaman adalah - lannya. Ngelmu iku kelakone kanthi lab. tanpa laku tangeb lamun kelakon. “Laku adalah sadhana (disiplin kerohanian), dan orang yang sedang melaksanakan sadha yang ketat disebut nglakoni, misalnya: tapa mbisu (monabrata), nglelana (dharmayatra), mutih (hanya makan nasi dan minur air putih), ngrowot (hanya makan umbi-umbian), dan berbagai “laku” ekstrim, seperti: nglelana dengan hanya mengenakan cawat, mengemis, dan lain-lain yang bagi orang umum sangat nyeleneh yang sebenarnya dilakukan bukan untuk menjadi perhatian khalayak, tetapi untuk menyingkirkan ego yang melekat pada dirinya. Melalui pengalaman spiritual kita menjadi dewasa di sisi kerohanian. Keluar dari rasa takut menuju ketabahan. Keluar dari kemarahan menuju cinta kasih. Keluar dari perselisihan menuju perdamaian. Keluar dari kegelapan menuju kecerahan dan menyatu dalam Brahman.

Kita telah mengambil kelahiran di dalam tubuh fisik (tumimbal lahir) untuk tumbuh dan berkembang menuju energi potensial kita yang sangat hebat. Kita di dalam batin telah menyatu dengan Brahman. Agama Hindu berisi pengetahuan bagaimana cara menyadari keesaan ini dan tidak menciptakan pengalaman-pengalaman yang tidak dikehendaki.

Jalan yang terbaik adalah mengikuti jejak dari nenek moyang spiritual kita, menemukan arti penuh rahasia dari pustaka-pustaka Weda. Jalan yang terbaik adalah komitmen, belajar, disiplin, pengamalan dan matang dalam yoga menuju kearifan. Pada langkah-langkah awal, kita merasa menderita sampai kita menjadi terlatih. Pengetahuan Weda menuntun kita pada pelayanan; sepi ing pamrih rame ing gawe, dan pelayanan tanpa pamrih adalah awal dari tuntunan spiritual. Pelayanan menuntun kita pada pemahaman. Pemahaman menuntun kita pada meditasi yang mendalam dan tanpa gangguan. Akhirnya, meditasi menuntun kita berserah diri kepada Brahman. Ini adalah jalan lurus dan pasti, menuntun kita ke arah Guru Sejati, Sukma Jati, Kajaten, atau apa pun istilahnya yang tiada lain adalah kesadaran Atman tujuan hidup paling utama dan kemudian menuju moksha, terbebas dan reinkarnasi.

Weda secara bijaksana meyakinkan, “Dengan kecermatan, kebaikan diperoleh. Dari kebaikan, pemahaman dicapai. Dari pemahaman, Jati Diri diperoleh, dan dia yang mencapai kesadaran Atman dibebaskan dan putaran kelahiran dan kematian.”

Tarian Brahman
Semua gerakan berawal dari Brahman dan berakhir pada Brahman. Keseluruhan dari alam semesta terlibat dalam pusaran aliran dari perubahan dan aktivitas ini adalah tarian Brahman. Kita semua menari bersama Brahman, dan Dia bersama kita. Akhirnya, kita adalah tarian Brahman.

Dunia terlihat seperti tersebut di atas sesungguhnya adalah keramat, hanya ketika kita melihat tarian kosmis Brahman. Segala hal di alam semesta, semua yang kita lihat, dengar dan bayangkan, adalah pergerakan. Galaksi-galaksi melayang tinggi dalam pergerakan; pusaran atom-atom dalam pergerakan. Semua pergerakan adalah tarian Brahman. Bila kita berusaha melawan pergerakan ini dan berpikir semestinya selain dari ini, kita dengan berat hati menari bersama Brahman. Kita dengan keras kepala menentang, menganggap diri kita terpisah, mengkritisi proses dan pergerakan alami sekeliling kita.

Dengan pemahaman kebenaran abadi tersebut kita bawa semua bidang pikiran kita ke dalam pengetahuan bagaimana cara menerima apa adanya dan tidak mengharapkan menjadi yang sebaliknya. Bilamana itu terjadi, kita mulai secara sadar untuk menari bersama Brahman, bergerak dengan aliran suci itu mengelilingi kita, menerima pujian dan cacian, kegembiraan dan duka-cita, kemakmuran dan kesulitan dalam ketenangan jiwa, buah dan pemahaman. Kita kemudian dengan anggun, tak kenal menyerah, menari bersama Brahman. Weda menyatakan, “Jiwa kosmis sesungguhnya adalah keseluruhan alam semesta, sumber abadi semua kreasi, semua aksi, semua meditasi. Siapapun menemukan Dia, tersembunyi jauh di dalam, memotong ikatan kebodohan, tenang selama hidupnya di dunia.”

Tarian adalah pergerakan, dan tarian paling sempurna adalah tarian sebaik-baiknya disiplin. Disiplin Spiritual Hindu menuntun ke arah keesaan dengan Brahman melalui refleksi diri, penyerahan diri, transformasi personal dan banyak yoga.

Untuk kemajuan di jalan ini, kita mempelajari Weda, buku-buku tentang disiplin spiritual Hindu dan guru-guru sadhana kita dan berusaha keras menerapkan kebenaran filosofis ini pada pengalaman hanian. Kita berusaha mengerti pikiran dalam alam rangkap empatnya, yaitu: chitta (kesadaran), manah (naluri), buddhi (akal budi), dan ahamkara (ego atau keakuan). Kita melakukan japa, meditasi dan yoga setiap hari. Disiplin spiritual seperti itu dikenal sebagai sadhana. Ini adalah latihan kebatinan, mental, fisik dan kebhaktian yang memungkinkan kita untuk menari bersama Brahman dengan membawa kemajuan sisi dalam, perubahan persepsi dan perbaikan karakter.

Sadhana memungkinkan kita untuk hidup dengan sifat jiwa yang sopan dan terpelajar. Lebih baik daripada sisi luar, naluriah atau bidang intelektual. Untuk kemajuan yang konsisten, sadhana harus dilakukan secara teratur, dengan pasti, pada waktu yang sama setiap hari, lebih baik pada jam-jam awal sebelum fajar. Sadhana paling utama adalah tantangan dan latihan yang diberikan oleh seorang guru sadhana. “Gusti” = bagusing ati (Brahman = kebijaksanaan), akronim seperti itu sesuai dengan pesan Weda. Weda memperingatkan, “Kesadaran Atman tidak bisa dicapai dengan kelemahan, kecerobohan, serta kedisiplinan tanpa tujuan. Tetapi jika onang telah memiliki pemahaman yang benar, kemudian berusaha dengan cara-cara yang benar, jiwanya memasuki tmpat kediaman Brahman.”

Atman Brahman Aikyam
Tujuan akhir hidup di atas bumi adalah untuk menyadari Atman, pencapaian yang tidak gampang dan nirvikalpa samadhi. Setiap jiwa menemukan Ketuhanannya, Realitas Absolut, Brahman yang kekal, tanpa waktu, tanpa bentuk, tanpa ruang, Sang Atman.
Realisasi dan Atman, Brahman, kodrat dan setiap jiwa, dapat dicapai melalui renunsiasi (penolakan atau penyangkalan), diteruskan meditasi dan membakar benih-benih karma yang masih bertunas. Ini adalah pintu gerbang menuju moksha, pembebasan dan reinkarnasi. Atman berada di luar perkiraan pikiran, di luar perasaan yang alami, di luar aksi atau pergerakan bahkan bagian tertinggi dan kesadaran (chitta).

Pribadi lebih solid daripada sebuah neutron, lebih sukar dipahami daripada ruang hampa, lebih mendalam daripada pikiran dan perasaan. Ini realitas terakhir diri kita, Kebenaran terdalam yang dicari-cari semua pencari Brahman. Ini adalah suatu yang berharga untuk diperjuangkan. Ini perjuangan bernilai tinggi yang dijalani dengan susah payah untuk membawa pikiran di bawah perintah kehendak.

Setelah Atman disadari, pikiran terlihat sebagai sesuatu yang maya, tidak nyata, itulah sesungguhnya. Karena kesadaran Atman harus dialami di dalam tubuh fisik, putaran jiwa kembali lagi dan lagi ke dalam badan jasmani untuk menari bersama Brahman, hidup bersama Brahman dan akhirnya manunggal dengan Brahman menyatu dalam keesaan-Nya. Ya, Atman sebenarnya Brahman (Atman Brahman Aikyam). Weda menjelaskan, “Seperti air dituangkan ke dalam air, susu dituangkan ke dalam susu, menjadi satu tanpa diferensiasi, Atman dan Parama Atman menjadi satu.” Agustus 2009- MediaHindu 66

Baca Juga Artikel Lainnya :

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action
lowongan investasi kerja di internet
internet marketing

Recent Comments

free counters