Majapahit. [JAKARTA] Tim ilmuwan terkemuka dari komunitas ilmiah Rusia menyatakan bahwa bencana lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur tidak terkait sama sekali dengan pengeboran sumur gas di sekitar area tersebut. Lumpur Sidoarjo murni bencana alam yang dipicu oleh dua gempa bumi, yakni gempa tanggal 9 Juli 2005 yang berpusat tepat di bawah zona letusan lumpur dengan kekuatan gempa 4,4 SR dan gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 6,3 SR.

"Setelah melakukan penelitian yang intensif selama enam bulan dengan menggunakan data paling aktual, kami juga menyimpulkan bahwa Pulau Jawa, terutama wilayah Jawa Timur dan Tengah, rawan semburan lumpur seperti di Sidoarjo.

Saat ini dalam radius 50 kilometer dari pusat semburan lumpur Sidoarjo terdapat sedikitnya 15 area yang berpotensi mud volcano," ujar Ketua Tim Ilmuwan Rusia, Dr Sergey V Kadurin, saat berkunjung ke redaksi SP di Jakarta, Rabu (29/9).

Sergey memimpin tim yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan terkemuka dari Russian Institute of Electro Physics, yang datang ke Indonesia Jakarta untuk memaparkan hasil riset mereka yang didasari oleh data seismik dari Pemerintah Indonesia yang belum pernah dikemukakan sebelumnya.

Dalam kunjungan tersebut, Sergey didampingi Boris Gromov dan Yuriy P Rakintsev dari perusahaan minyak dan gas Indonesia-Rusia RINeftGaz, Igor Kadurin dari Jurusan Elektro Fisika Institut Rusia, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Prof Dr Hardi Prasetyo. serta Angus Carnegie dan Jeffrey Richard dari Humanitus, LSM berbasis di Australia yang kini giat membantu korban lumpur Sidoarjo.

Menurut Sergey, tim ilmuwan Rusia berkesimpulan bahwa semburan lumpur Sidoarjo tersebut merupakan hasil langsung dari pengaktifan kembali gunung lumpur tua di bawah permukaan tanah yang terjadi akibat dari serangkaian kegiatan seismik.

"Lusi terjadi akibat dari kembali aktifnya struktur gunung lumpur yang telah terbentuk sekitar 150.000 - 200.000 tahun lalu yang kemudian meletus pada 29 Mei 2006 dan terus berlanjut hingga kini. Letusan itu dipicu oleh serangkaian kegiatan seismik yang telah dimulai 10 bulan sebelumnya," ujar Sergey yang dalam laporannya membahasakan lumpur Sidoarjo dengan singkatan lusi.

Ia menjelaskan, gempa bumi pada 9 Juli 2005 merupakan salah satu peristiwa geologi yang membantu pembukaan saluran lumpur. Selanjutnya, pergerakan patahan Watukosek yang terjadi terus menerus telah membantu proses ini lebih lanjut. Dan gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum letusan (semburan) lusi menjadi sebuah kick-off yang terakhir.

"Karena itu, tim ilmuwan Rusia berkesimpulan bahwa lusi murni bencana alam yang tidak terkait sama sekali dengan pengeboran migas di dekatnya," tegas Sergey.

Penelitian Panjang

Kesimpulan tersebut, lanjutnya, tidak dilakukan secara serampangan tetapi melalui penelitian panjang dan serius dengan mengkonstruksi sebuah Sistem Informasi Geologi (GIS - Geological Information System) yang memungkinkan mereka untuk menciptakan sebuah model 3D dari formasi geologi bawah tanah di area tersebut. Hal ini memungkinkan tim peneliti tersebut untuk memiliki sebuah gambaran sesungguhnya dari sumber lumpur dan bagaimana sumber lumpur tersebut memiliki saluran untuk keluar ke permukaan. Dengan penggambaran 3D ini, tim peneliti Rusia mampu membuktikan ataupun menyangkal beberapa teori mengenai lusi yang mencuat selama empat tahun belakangan ini.

"Dengan kesalahan asumsi bahwa pengeboran merupakan penyebab dari letusan lumpur, pihak yang berwenang berada dalam bahaya serta mengabaikan kemungkinan bencana yang akan datang dan kemungkinan lalai dalam mengambil tindakan antisipasi yang tepat, yang mencakup evakuasi penduduk di daerah sekitarnya," ujar Sergey.

"Hal ini dapat disimpulkan sebagai fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam peristiwa gunung lumpur lusi, saluran lumpur telah ada jauh sebelum adanya pengeboran sumur. Bahkan terdapat dua saluran utama dengan tiga titik letusan potensial yang dapat diobservasi melalui tampilan 3D dari sub terrain," tambah Dr Igor Kadurin.

Menurut Igor, ancaman semburan susulan masih bisa terjadi di Sidoarjo dan kawasan sekitarnya. "Kita memerlukan sistem untuk memprediksi erupsi lusi, yang bisa memberikan Anda informasi apa yang akan terjadi bulan depan, minggu depan, atau tahun depan. Jadi kita bisa tahu harus berbuat apa dan membuat sejumlah persiapan," katanya.

Ia mengakui tidak bisa memprediksi kapan semburan susulan bisa terjadi karena belum melakukan penelitian langsung di lokasi lusi. "Diperlukan kajian lebih lanjut untuk menentukan luas wilayah yang bisa terkena dampak semburan susulan dan potensi sembutan berikutnya," ujar Igor sembari menegaskan bahwa lusi tak mungkin dimatikan.

Boris Gromov menambahkan, minat para ilmuwan Rusia dalam meneliti peristiwa ini, di samping keinginan mereka untuk membantu masyarakat Indonesia dalam memecahkan masalah yang disebabkan oleh gunung lumpur di Jawa, juga merupakan sebuah bukti dari persahabatan dan kerja sama antara Rusia dan Indonesia yang telah terjalin sejak lama.

Menurutnya, penelitian tersebut diawali dari kunjungan kenegaraan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Jakarta pada September 2007, yang menyerukan hubungan kerja masa yang lebih baik antara Moskow dan Jakarta di berbagai area, termasuk penelitian ilmiah.

"Tujuan dari tim ini bukan untuk memulai sebuah diskusi panjang tanpa hasil mengenai penyebab dari letusan lusi, namun untuk mempresentasikan sebuah pendapat ilmiah dari ilmuwan Rusia serta Pemerintah Rusia tentang berbagai cara dalam menangani lusi dan kemungkinan bencana di masa depan dengan kerugian dan kerusakan ekonomi seminimal mungkin," tandas mantan tentara Rusia yang paling akhir meninggalkan Afghanistan ini.

Sementara itu, Hardi Prasetyo menegaskan bahwa ancaman semburan lumpur di Jawa memang sangat nyata, kendati selama ini belum masuk dalam agenda bencana alam pemerintah selama ini. "Kasus lusi membuka kesadaran seriusnya ancaman semburan lumpur," katanya seraya mengungkapkan bahwa sejak tahun 2009 pemerintah mengambilalih sepenuhnya kasus lusi.

Masalah ini, tambah Hardi, sesungguhnya telah terjadi sejak dulu kala. Bahkan sebagian ilmuwan percaya bahwa Kerajaan Majapahit runtuh bukan karena perang, tapi karena semburan lumpur.

Baca Juga Artikel Lainnya :

Klub Bisnis Internet Berorientasi Action
lowongan investasi kerja di internet
internet marketing

Recent Comments

free counters