Majapahit. Source : Kompas. Tirta puspa lawan dupa/ Kumelun ngambar arum mawar, Katur Hyang Kawasa/ Ratu-ratuning narendra/ Ninging nala, nanging rumegung nala sru sumenyut/ Mugi sihing padukendra/ Pasinga cahya rahayu....
Nyanyian "Panjang Ilang" yang dilantunkan secara koor oleh para sisya (umat) yang terdiri dari pria dan wanita setengah baya yang mengenakan busana dan ikat kepala warna hitam, diiringi tabuhan gamelan satu-satu itu lebih mirip dengungan serangga.
Menggema di antara perbukitan yang didominasi tanaman teh yang mengurung lokasi upacara palebon atau ngaben di Padepokan Segaragunung, Ngargoyoso, Karanganyar, Senin (15/2) siang.
Suara nyanyian mereka monoton, berirama tlutur (sedih), mengalun-tersendat. Menimbulkan suasana khidmat sekaligus mistis, mengiringi hampir sepanjang upacara palebon jenazah Rama Pandita Djajakoesoema dan Ratu Pandita Estri.
Upacara ini dilaksanakan di area ukuran 4 meter x 15 meter yang berlereng curam, di ujung padepokan sederhana, sekitar 400 meter dari jalan yang menghubungkan Candi Sukuh-Candi Cetha, di punggung Gunung Lawu.
Para peserta upacara berjejalan, termasuk tamu, wartawan, dan beberapa wisatawan asing, di lereng bagian atas dan samping. Mereka tampak antusias menyaksikan upacara kremasi jenazah secara Hindu yang langka karena konon sudah 500 tahun terakhir tidak lagi dilaksanakan di Jawa, terutama di sekitar Gunung Lawu.
Rangkaian upacara palebon dimulai pada Kamis (11/2) dengan mengangkat jenazah Djajakoesoema (1923-2007) dan istri dari makam. Puncak ucapara palebon Senin kemarin dimulai persis pukul 10.00 dengan memasukkan kedua jenazah ke dalam bade berupa patung kayu berbentuk sapi.
Setelah disembahyangkan secara Hindu yang dipimpin Ida Pedanda Gede Putra Manuaba dari Badung, Bali, didampingi Sri Kanjeng Bhagawan Istri Ratu Gayatri dari Boyolali, kremasi pun dimulai dengan menggunakan kompor khusus dari minyak tanah. Kremasi baru selesai pukul 13.10 karena hujan deras.
Sebagian abu jenazah ditempatkan dalam tempurung kelapa gading, selanjutnya dilarung di pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebagian lagi disimpan dalam wadah-wadah dari gerabah untuk disimpan keluarga.
Menurut Agung Arjuna (53), almarhum ayahnya mengembangkan agama Hindu yang sinkretik dengan budaya lokal, Jawa. "Setelah tidak berdinas di militer, beliau menekuni laku talak brata, bertapa dari satu tempat ke tempat lain," paparnya.
Almarhum mengembangkan spiritualisme yang didasarkan pada Hinduisme yang pernah berkembang di sekitar Lawu. Keberadaan Candi Sukuh, Cetha, Pelanggatan, Panggung, dan Kethek di sekitar Gunung Lawu bukti bahwa kawasan itu pernah menjadi "pusat" agama Hindu. Ini diperkirakan pada abad ke-15 ketika Majapahit runtuh.
Djajakoesoema kemudian menjalani diksa (pentahbisan) sebagai pendeta Hindu di Bali pada 1993, mendirikan Padepokan Segaragunung, dan mengembangkan ajaran spiritualisme "baru".
"Almarhum pada dasarnya tidak sebatas agama Hindu, ajarannya bersifat universal. Semua umat beragama terwadahi di padepokan ini," kata Agung.
Mardiyoto (70), cantrik dari Klaten, menambahkan, almarhum mengajarkan tentang kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari budaya tirta yang intinya pembinaan budi pekerti yang luhur. (ardus sawega)
Majapahit. Source : detikhot.com. Jakarta Aktris Happy Salma akan menikah dengan kekasihnya asal Bali, Tjokorda Bagus pada 3 Oktober mendatang. Menikahi Tjokorda Bagus yang keturunan raja, Happy pun dikabarkan sudah menjalani upacara pindah agama Hindu.
Happy diketahui menjalani upacara pindah agama Hindu, Sudhi Wadani, di Villa Ibah, Ubud, Rabu (29/9/2010). Selama seharian, bintang film 'Capres' itu menjalani ritual tersebut. Namun media tidak bisa meliput atau memasuki hotel tempat upacara berlangsung.
Sudhi Wadani berasal dari kata sudhi dan wadani. Sudhi dari bahasa Sansekerta, yang berarti penyucian, persembahan, upacara penyucian. Wadani berarti banyak perkataan, banyak pembicaraan. Secara singkat dapat dikatakan upacara Sudhi Wadani adalah upacara dalam Hindu sebagai pengukuhan atau pengesahan ucapan atau janji seseorang yang secara tulus ikhlas dan hati suci menyatakan menganut agama Hindu.
Sudhi Wadani merupakan salah satu syarat yang harus dijalani bila seseorang ingin menikah dengan adat Hindu.
Seorang sumber di Ubud membenarkan mengenai ritual yang telah dijalani Happy tersebut. "Happy sudah menjalani upacara Sudhi Wadani," ujarnya saat ditemui di kawasan Ubud, Bali, Kamis (30/9/2010).
Happy rencananya akan menikah dengan kekasihnya, Tjokorda Bagus Dwi Santana Kerthyasa pada 3 Oktober di Puri Saren Kauh, Ubud. Upacara akan digelar dalam adat Hindu. Setelah proses pernikahan, Happy dan Tjokorda Bagus akan menggelar jumpa pers pada pukul 13.30 WITA.
Bintang teater 'Nyai Ontosoroh' itu berada di Villa Ibah, Ubud sejak Minggu (26/9/2010). Menjelang pernikahannya, dengan memakai kebaya, Happy terlihat beraktivitas membuat sarana dan prasarana upacara pernikahan dalam adat Hindu, seperti menyiapkan sesajen.
Tjokorda Bagus, calon suami Happy, dikenal sebagai sebagai seorang model dan fotografer asal Pulau Dewata. Ayahnya adalah Tjokorda Kertayasa yang merupakan anggota DPRD Bali dari partai Golkar. Sedangkan sang ibu, Jero Asri Kertayasa berasal dari Australia. Tjokorda Bagus yang keturunan bangsawan Kerajaan Ubud juga disebut-sebut memiliki penginapan mewah di Bali.(eny/iy)
Majapahit. Source : detiknews.com. Puluhan fragmen atau kepingan logam emas ditemukan di situs Kimpulan yang ada di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Kepingan emas berbagai ukuran itu ditemukan di candi induk/utama dan di candi perwara yang merupakan candi peninggalan zaman Hindu sekitar abad 9-10 Masehi.
"Ada puluhan fragmen emas sejak kami melakukan pemugaran di situs Kimpulan. Semuanya sudah kami selamatkan dan diamankan untuk diteliti dan didata," ungkap Staf Teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY, Dulrahman di kampus UII di Jl Kaliurang Km 12,5, Sleman, Jumat (1/10/2010).
Menurut dia, fragmen emas itu diantaranya ditemukan peripih dibawah batu lingga-yoni di candi induk. Satu lempeng emas itu berdiameter 3 cm dengan berat sekitar 8,9 gram. Selain itu ditemukan lambang bunga teratai atau padma serta puluhan logam perak, perunggu dan lain-lain. Dari 12 batu umpak candi juga ditemukan 11 mangkuk kuno.
"Biasanya di candi Hindu itu selalu ada lempeng emas di bawah batu peripih dan benda logam lainnya. Fragmen bunga teratai itu juga merupakan lambang agama Hindu," terangnya.
Dulrahman mengatakan, sejak dilakukan pemugaran sejak tanggal 7 September, tim peneliti dari BP 3 DIY hampir selalu menemukan benda-benda kuno termasuk fragmen emas. Penemuan terakhir fragmen logam pada hari Kamis tanggal 30 September baik di candi induk maupun candi perwara. Di Candi perwara diantaranya ditemukan fragmen temaga, batu giok ukuran 1,6 cm dengan ketebalan kurang dari 1 cm.
Total temuan yang berhasil diselamatkan adalah kepingan bentuk Padma, 2 keping koin atau mata uang emas, 20 keping mata uang perak, beberapa kepingan emas ukuran 1 cm, 12 mangkuk berisi berbagai kepingan pernak-pernik, serta berbagai jenis logam dari perak, perunggu, kaca dan batu.
"Semua masih diteliti. Namun total jumlahnya juga belum kami hitung karena setiap hari kita menemukan dan didata. Mengenai bagaimana detil dan struktur candi masih terus kita lakukan penelitian," pungkas dia.
Majapahit. Source : I Made Sukanti.
Roda terus berputar, waktupun silih berganti, segala kejadian-pun tidak pernah dapat kita bayangkan sebelumnya, kita sebagai umat manusia dengan segala keterbatasannya hanya dapat melakoni, dan kita sangat percaya bahwa Sang Waktu dan segala yang terjadi di dunia ini ada yang mengatur serta mengendalikannya.
Di Awal bulan Agustus 2010, para pinisepuh se-nusantara (Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulewesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian) berkumpul di Mojokerto - Jatim untuk membahas masalah yang sedang terjadi di Nusa dan Bangsa ini, Ida di Kedhatuan Kawista juga mendapatkan undangan untuk menghadiri acara tersebut.
Dengan adanya pertemuan agung itu kita berharap ada perubahan pada bumi Nusantara kedepan kearah yang lebih baik, seperti apa yang kita harapkan dan kita cita-citakan oleh para pendahulu kita demi kejayaan Nusantara yang gemah ripah loh jinawi.
Dahulu, Nusantara ini sangat disegani dan ditakuti oleh bangsa dan negara-negara tetangga, suaranya sungguh menggelegar dan menggetarkan jiwa di seantero dunia, coba simak sejarah para pemimpin Negara ini, mulai pada jaman kerajaan-kerajaan sampai pada jaman Republik yang dipimpin oleh Bung Karno. Evolusi bergulir dengan berselangnya sang waktu dan Revolusi kini sepertinya sudah nampak diambang pintu, hal ini tidak mustahil akan terjadi karena Sang Waktu telah mengatur. Mari kita panjatkan doa semoga Nusa dan Bangsa ini terselamatkan dari segala rintangan dan marabahaya demi kelangsungan Negara serta kesentosaan anak cucu kita nanti.
--------------------------
Pada malam tahun baru 2010, Ida nangiang (membangunkan) Pusaka Tri Sula yang berada di Puncak Gunung Semeru - Lumajang (Jatim). Demikian juga Ida nangiang (membangunkan) Arca Bhagawan Manu (Hyang Semar) di sebuah pula kecil di daerah Malang (Jatim), nama pulaunya belum diketahui.
Majapahit. [JAKARTA] Tim ilmuwan terkemuka dari komunitas ilmiah Rusia menyatakan bahwa bencana lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur tidak terkait sama sekali dengan pengeboran sumur gas di sekitar area tersebut. Lumpur Sidoarjo murni bencana alam yang dipicu oleh dua gempa bumi, yakni gempa tanggal 9 Juli 2005 yang berpusat tepat di bawah zona letusan lumpur dengan kekuatan gempa 4,4 SR dan gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan 6,3 SR.
"Setelah melakukan penelitian yang intensif selama enam bulan dengan menggunakan data paling aktual, kami juga menyimpulkan bahwa Pulau Jawa, terutama wilayah Jawa Timur dan Tengah, rawan semburan lumpur seperti di Sidoarjo.
Saat ini dalam radius 50 kilometer dari pusat semburan lumpur Sidoarjo terdapat sedikitnya 15 area yang berpotensi mud volcano," ujar Ketua Tim Ilmuwan Rusia, Dr Sergey V Kadurin, saat berkunjung ke redaksi SP di Jakarta, Rabu (29/9).
Sergey memimpin tim yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan terkemuka dari Russian Institute of Electro Physics, yang datang ke Indonesia Jakarta untuk memaparkan hasil riset mereka yang didasari oleh data seismik dari Pemerintah Indonesia yang belum pernah dikemukakan sebelumnya.
Dalam kunjungan tersebut, Sergey didampingi Boris Gromov dan Yuriy P Rakintsev dari perusahaan minyak dan gas Indonesia-Rusia RINeftGaz, Igor Kadurin dari Jurusan Elektro Fisika Institut Rusia, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Prof Dr Hardi Prasetyo. serta Angus Carnegie dan Jeffrey Richard dari Humanitus, LSM berbasis di Australia yang kini giat membantu korban lumpur Sidoarjo.
Menurut Sergey, tim ilmuwan Rusia berkesimpulan bahwa semburan lumpur Sidoarjo tersebut merupakan hasil langsung dari pengaktifan kembali gunung lumpur tua di bawah permukaan tanah yang terjadi akibat dari serangkaian kegiatan seismik.
"Lusi terjadi akibat dari kembali aktifnya struktur gunung lumpur yang telah terbentuk sekitar 150.000 - 200.000 tahun lalu yang kemudian meletus pada 29 Mei 2006 dan terus berlanjut hingga kini. Letusan itu dipicu oleh serangkaian kegiatan seismik yang telah dimulai 10 bulan sebelumnya," ujar Sergey yang dalam laporannya membahasakan lumpur Sidoarjo dengan singkatan lusi.
Ia menjelaskan, gempa bumi pada 9 Juli 2005 merupakan salah satu peristiwa geologi yang membantu pembukaan saluran lumpur. Selanjutnya, pergerakan patahan Watukosek yang terjadi terus menerus telah membantu proses ini lebih lanjut. Dan gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum letusan (semburan) lusi menjadi sebuah kick-off yang terakhir.
"Karena itu, tim ilmuwan Rusia berkesimpulan bahwa lusi murni bencana alam yang tidak terkait sama sekali dengan pengeboran migas di dekatnya," tegas Sergey.
Penelitian Panjang
Kesimpulan tersebut, lanjutnya, tidak dilakukan secara serampangan tetapi melalui penelitian panjang dan serius dengan mengkonstruksi sebuah Sistem Informasi Geologi (GIS - Geological Information System) yang memungkinkan mereka untuk menciptakan sebuah model 3D dari formasi geologi bawah tanah di area tersebut. Hal ini memungkinkan tim peneliti tersebut untuk memiliki sebuah gambaran sesungguhnya dari sumber lumpur dan bagaimana sumber lumpur tersebut memiliki saluran untuk keluar ke permukaan. Dengan penggambaran 3D ini, tim peneliti Rusia mampu membuktikan ataupun menyangkal beberapa teori mengenai lusi yang mencuat selama empat tahun belakangan ini.
"Dengan kesalahan asumsi bahwa pengeboran merupakan penyebab dari letusan lumpur, pihak yang berwenang berada dalam bahaya serta mengabaikan kemungkinan bencana yang akan datang dan kemungkinan lalai dalam mengambil tindakan antisipasi yang tepat, yang mencakup evakuasi penduduk di daerah sekitarnya," ujar Sergey.
"Hal ini dapat disimpulkan sebagai fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam peristiwa gunung lumpur lusi, saluran lumpur telah ada jauh sebelum adanya pengeboran sumur. Bahkan terdapat dua saluran utama dengan tiga titik letusan potensial yang dapat diobservasi melalui tampilan 3D dari sub terrain," tambah Dr Igor Kadurin.
Menurut Igor, ancaman semburan susulan masih bisa terjadi di Sidoarjo dan kawasan sekitarnya. "Kita memerlukan sistem untuk memprediksi erupsi lusi, yang bisa memberikan Anda informasi apa yang akan terjadi bulan depan, minggu depan, atau tahun depan. Jadi kita bisa tahu harus berbuat apa dan membuat sejumlah persiapan," katanya.
Ia mengakui tidak bisa memprediksi kapan semburan susulan bisa terjadi karena belum melakukan penelitian langsung di lokasi lusi. "Diperlukan kajian lebih lanjut untuk menentukan luas wilayah yang bisa terkena dampak semburan susulan dan potensi sembutan berikutnya," ujar Igor sembari menegaskan bahwa lusi tak mungkin dimatikan.
Boris Gromov menambahkan, minat para ilmuwan Rusia dalam meneliti peristiwa ini, di samping keinginan mereka untuk membantu masyarakat Indonesia dalam memecahkan masalah yang disebabkan oleh gunung lumpur di Jawa, juga merupakan sebuah bukti dari persahabatan dan kerja sama antara Rusia dan Indonesia yang telah terjalin sejak lama.
Menurutnya, penelitian tersebut diawali dari kunjungan kenegaraan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Jakarta pada September 2007, yang menyerukan hubungan kerja masa yang lebih baik antara Moskow dan Jakarta di berbagai area, termasuk penelitian ilmiah.
"Tujuan dari tim ini bukan untuk memulai sebuah diskusi panjang tanpa hasil mengenai penyebab dari letusan lusi, namun untuk mempresentasikan sebuah pendapat ilmiah dari ilmuwan Rusia serta Pemerintah Rusia tentang berbagai cara dalam menangani lusi dan kemungkinan bencana di masa depan dengan kerugian dan kerusakan ekonomi seminimal mungkin," tandas mantan tentara Rusia yang paling akhir meninggalkan Afghanistan ini.
Sementara itu, Hardi Prasetyo menegaskan bahwa ancaman semburan lumpur di Jawa memang sangat nyata, kendati selama ini belum masuk dalam agenda bencana alam pemerintah selama ini. "Kasus lusi membuka kesadaran seriusnya ancaman semburan lumpur," katanya seraya mengungkapkan bahwa sejak tahun 2009 pemerintah mengambilalih sepenuhnya kasus lusi.
Masalah ini, tambah Hardi, sesungguhnya telah terjadi sejak dulu kala. Bahkan sebagian ilmuwan percaya bahwa Kerajaan Majapahit runtuh bukan karena perang, tapi karena semburan lumpur.
Majapahit. Satu lagi peninggalan Kerajaan Majapahit berhasil ditemukan. Sebuah kolam yang diduga kuat sebagai tempat mandi para raja ditemukan warga di Dusun Nglinguk, Desa/Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Situs bersejarah ini ditemukan Ruskan (63) di belakang rumahnya. Secara tak sengaja, kakek ini menemukan bangunan dari batu bata kuno saat menggali tanah untuk produksi batu bata. Secara perlahan, Ruskan berhasil ”membuka” tabir sejarah kuno dimulai bulan Desember tahun lalu.
Saat ini, Ruskan sudah berhasil membuka kolam hingga berukuran 7 X 6 meter dengan kedalaman kolam mencapai hampir 3 meter. Tampak jelas jika bangunan ini merupakan bangunan istimewa dengan arsitektur mewah ala kerajaan. Penemuan Ruslan inipun mendapatan perhatian langsung dari Sekretaris Direktur Jendral (Setditjen) Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Kamis (11/3/2010).
Kolam kuno ini mirip dengan bangunan Candi Tikus, yang juga ditemukan di Trowulan. Pada bagian dinding kolam terdapat beberapa buah pancuran air dan berlantai batu bata. Bangunan itu berundak-undak yang menandakan jika bangunan tersebut bukan milik warga biasa. Diperkirakan, temuan ini hanya sepucuk dari luas bangunan utuhnya.
Plt Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Aris Soviani mengatakan, dari beberapa kali penelitian yang dilakukan pihaknya di lokasi temuan, didapatkan beberapa kesimpulan. Salah satunya, pihaknya menyakini jika bangunan kuno temuan Rukan itu adalah kolam pemandian.
”Kita sudah beberapa kali melakukan kajian awal atas bangunan yang sudah tampak,” terang Aris Soviani.
Namun kata dia, kolam yang ia sebut itu merupakan kolam yang istimewa. Karena dilihat dari bangunan dan arsiteknya, kolam tersebut adalah milik petinggi kerajaan. Ia tak menampik jika bangunan itu mirip dengan kolam di Candi Tikus. ”Diduga kuat, kolam ini adalah milik Raja Majapahit,” ujarnya.
(Tritus Julan/Koran SI/ram)
Sebut saja PT Indosat Tbk. yang pernah dijual ke Temasek Holding dan kini berada di tangan Qatar Telecom, PT Telkomsel yang dimiliki Temasek Singapura, XL yang dimiliki Malaysia dan masih banyak lagi.
Saya bermimpi, Indonesia bisa berjaya seperti sejarah kita dulu, saat Indonesia menjadi negara perdagangan besar yang memiliki pengaruh kuat di dunia.
Majapahit tercatat telah memiliki hubungan dagang dengan Kamboja, Thailand, Birma dan Vietnam dan bahkan, menempatkan perwakilannya di Cina. Dalam bidang perdagangan, kopi Jawa dan Sumatera telah terkenal di seluruh dunia. Banyak orang di berbagai belahan dunia yang belum benar-benar terbangun sebelum menikmati nikmatnya kopi Indonesia. Sampai kini Coklat Indonesia terkenal menjadi pemasok pabrik-pabrik coklat di Swiss dan Amerika.
Saya bermimpi, Indonesia berjaya seperti sejarah kita dulu, Majapahit misalnya dikenal sebagai kerajaan yang mempersatukan bangsa dan negara menjadi kuat. Pengaruh Majapahit bahkan melampaui batas-batas yang kini disebut sebagai Indonesia.
Kitab Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV menyebutkan Nusantara, wilayah
kekuasaan Majapahit terbentang dari Sumatera hingga Papua (Wanin).
Saya bermimpi, Indonesia bisa membeli dan menguasai raksasa-raksasa bisnis di dunia, seperti yang mereka lakukan pada Indonesia selama ini, mereka memperlakukan Indonesia sebagai pecundang. Misalnya Temasek. Di Indonesia, konglomerasi Temasek ini sudah cukup lama dikenal, karena keterlibatan bisnisnya dengan sejumlah taipan dan usahanya memburu sektor telekomunikasi.
Lewat STT, pada tahun 2001 Temasek termasuk investor yang paling sigap menawar saham PT Telkomsel. Usaha itu kemudian membuahkan hasil dengan mengantongi saham operator seluler terbesar di Indonesia sebesar 35 persen.
Temasek yang menguasai saham STT sampai 67,65 persen, dengan kalimat lain, secara tidak langsung juga menggenggam 23,7 persen saham Telkomsel. Bersama Cargill Golden Agri Resources, Temasek juga masuk dalam pengelolaan dan pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit di Indonesia.
Kita tahu, saat dibeli oleh Temasek, jumlah pelanggan seluler Indosat masih sekitar 3,5 juta namun hingga dijual kepada Qatar Telecom tahun lalu, pelanggan Indosat sudah mencapai 16,7 juta pelanggan atau nyaris tujuh kali lipat jumlah penduduk Singapura.
Dari sisi laba, Indosat terus meraup angka paling sedikit 25 persen dari nilai investasi awal Temasek sebesar Rp 5 triliun, atau sekitar Rp 1,25 triliun.
Hingga akhir 2006, BUMN Singapura itu mampu meraup pendapatan usaha Rp 12,3 triliun. Sebanyak 75,4 persen dari pendapatan itu disumbangkan oleh bisnis selulernya dan itu disumbangkan oleh Indosat. Bisa dibayangkan berapa triliun rupiah yang dikeduk pemerintah Singapura dari Indosat selama lima tahun terakhir? Lalu bayangkan pula andai Indonesia kemudian membeli Temasek?
Saya bermimpi, Indonesia juga bisa membeli Khasanah Nasional Bhd. dari Malaysia. Konglomerasi ini, sekarang menguasai sejumlah sektor bisnis di Indonesia. Mulai dari telekomunikasi hingga bank.
Di bidang telekomunikasi, Khasanah, misalnya menguasai operator seluler XL. Di perbankan, Khasanah menggenggam saham Bank Niaga dan Bank Lippo, yang kini setelah dimerger diubah namanya menjadi Bank CIMB Niaga.
Lalu Malayan Banking (Maybank) membeli 100 persen saham konsorsium Sorak Finansial Holdings Pte Ltd di PT Bank International Indonesia (BII) Tbk. Satu bank Malaysia juga sudah menguasai Bank Bumiputera.
Lalu Group Guthrie, menguasai 25 perusahaan perkebunan dari hasil lelang yang digelar BPPN. Dengan penguasaan lahan tersebut, Guthrie kini memiliki lebih dari 260 ribu hektare lahan kelapa sawit di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dunia Bangkrut, Indonesia Jaya
Sejauh ini kita tahu, banyak sudah perusahaan-perusahaan kelas dunia yang akhirnya jatuh bangkrut, karena terlalu mengandalkan apa yang belakangan ini disebut sebagai “kebaikan” pasar bebas alias, free trade dengan “tangan-tangan yang tidak terlihat” itu.
Free Trade sudah menjadi agama ekonomi yang kini sedang dianut Indonesia, dan setiap saat mengancam kebangkrutan Indonesia.
Dalam Free Trade, siapa pun termasuk dari negara-negara asing, bisa membeli apa saja dan kapan saja, sepanjang memiliki duit, termasuk membeli perusahaan strategis yang menjadi jantung penghidupan Indonesia. Tak ada perlindungan pemerintah, karena perlindungan dianggap haram.
Terbukti sekarang, kita bisa melihat bahwa perusahaan-perusahaan dunia itu pun kini jatuh bertumbangan, bangkrut, dan terpaksa pemerintahnya pun harus ikut campur tangan, untuk menghindari kebangkrutan sistemik yang lebih gila lagi.
Saya bermimpi, Indonesia terhindar dari kebangkrutan total, seperti yang terjadi dengan bangsa-bangsa lain saat ini. Kondisi kebangkrutan nasional kini mengintai Indonesia, mengingat sejumlah BUMN dan korporasi besar di Indonesia kini banyak yang dikuasai oleh asing, dikuasai negara asing yang kini juga sedang dilanda krisis.
Saya karena itu, sekali lagi bermimpi, untuk bukan hanya membeli perusahaan-perusahaan Indonesia yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, tapi juga bermimpi membeli holding perusahaan-perusahaan asing itu.
Saya bermimpi, Indonesia tidak lagi menjadi bangsa pengemis utang pada negara-negara lain dengan menggadaikan kemandiriannya. Saya bermimpi, Indonesia justru mampu memberikan pinjaman bagi negara-negara lain. Indonesia mampu membantu negara-negara lain menjadi bangsa yang makmur.
Saya bermimpi, Indonesia membeli Chaebol-chaebol Korea, konglomerasi besar ala Korea. Lihat misalnya yang terjadi pada Ssangyong Motor, Korea Selatan yang mempekerjakan 7 ribuan orang. Perusahaan itu merupakan salah satu unit SUV yang sahamnya dibeli dan dimiliki produsen otomotif China, SAIC Motor.
Awal tahun ini, Ssangyong menjadi perusahaan terbesar di Korea Selatan yang pertama yang berdiri di tubir kebangkrutan. Itu sebabnya, awal tahun ini Ssangyong kemudian mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan kepada pemerintah Korea Selatan setelah mengalami kerugian sepanjang 2008.
Saya bermimpi, Indonesia membeli raksasa-raksasa bisnis Jepang, seperti Canon, Nikon, Sony, Panasonic, Toyota, Yamaha, Mitsubishi, Suzuki, Minolta, Kawasaki, Sanyo, Casio, Toshiba dan lain-lain.
Kita bisa lihat Sony di Jepang, yang merupakan perusahaan elektronik terbesar, kini juga sudah mengumumkan gelombang PHK menyusul kesulitan finansial karena mengalami kerugian tahunan pertama setelah 14 tahun.
Sony mengambil langkah mempertahankan tingkat profitabilitas dan menjaga agar terhindar dari kebangkrutan. CEO Sony mengumumkan perusahaan itu akan menutup satu dari dua pabrik TV mereka setelah penjualan TV LCD Bravia tidak berjalan maksimal akibat resesi.
Perusahaan ini juga akan melakukan PHK 2.000 karyawan. Panasonic dan Sharp juga mengalami keadaan yang sama.
Saya bermimpi, Indonesia bangkit, bangsanya sadar untuk tidak terus menerus didikte bangsa-bangsa asing. Saya bermimpi, bangsa Indonesia mampu mengelola kekayaan alam luar biasa yang dianugerahkan Tuhan bagi Indonesia.
Saya bermimpi, bangsa Indonesia mau belajar dan terus belajar, mau menimba sebanyak-banyak ilmu, mau untuk tidak bersifat rakus dan mementingkan diri sendiri, mau bersatu membangun ekonomi bangsa.
Saya bermimpi, Indonesia tidak lagi mengirim TKI yang mudah dibodohi, disiksa, diperkosa, bahkan dibunuh sesukanya tanpa perlindungan sama sekali dari negaranya. Saya bermimpi, bangsa Indonesia tidak lagi dileceh bangsa-bangsa lain.
Tapi saya bermimpi, bangsa Indonesia berada di seluruh penjuru dunia untuk mengelola dan menciptakan nilai tambah bagi kelangsungan hidup dunia, demi kejayaan Indonesia.
Saya bermimpi, Indonesia menjadi bangsa yang produktif, pandai menciptakan nilai tambah, tidak ada diskriminasi, dan semua anak-anak bangsa memiliki kebanggaan pada Indonesia, memiliki semangat bela negara yang tinggi.
Indonesia menjadi bangsa yang malu untuk korupsi, karena setiap anak bangsa mampu menciptakan nilai tambah, produktif dan cinta Indonesia.
Saya bermimpi, Indonesia menjadi bangsa yang tidak lagi minder dan kuper alias kurang pergaulan alias bagai katak dalam tempurung.
Saya bermimpi, Indonesia membeli dan menguasai Temasek, Khasanah, Chaebol dan perusahaan-perusahaan terkemuka dunia yang kini bangkrut.
Dalam pemilu ini kita, bangsa Indonesia harus memilih presiden yang tidak ditunggangi asing, yang kampanyenya tidak didanai asing, bukan boneka asing yang selalu didikte negara asing. Dengan begitu, akan semakin banyak orang-orang Indonesia yang terserap untuk bekerja. Indonesia juga akan semakin jaya, dan tidak diremehkan oleh negara- negara lain seperti yang sekarang kita alami.
Jangan salah memilih calon presiden yang tidak bijaksana. Dalam pemilu inilah momentumnya, salah memilih presiden, maka Indonesia akan kehilangan momentum menjadi bangsa yang mulia di dunia. Pikirkan masak-masak sebelum memilih, pilihlah calon presiden yang bisa membawa Indonesia menjadi bangsa mandiri, menjadi Indonesia Jaya. (*)
* Penulis adalah Managing Partner Strategic Indonesia
Majapahit. MOJOKERTO - Bekas kejayaan Kerajaan Majapahit kembali ditemukan. Sedikitnya lima buah sumur kuno ditemukan warga di Dusun Nglinguk, Desa/Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Sayangnya, temuan itu masih belum ditindaklanjuti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) setempat.
Lima sumur peninggalan Kerajaan Majaphit itu ditemukan Kandeg Suyanto, warga setempat. Benda bersejarah itu ditemukan di areal persawahan yang kini dipakai sebagai lokasi pembuatan batu bata oleh warga setempat. Sumur ditemukan secara bertahap dan dalam jarak yang berdekatan.
"Dari penemuan sumur yang pertama hingga yang terakhir membutuhkan waktu sekitar satu pekan," terang Kandeg saat ditemui di lokasi, Selasa (04/08/2009).
Penemuan itu berawal saat ia hendak mencangkul tanah untuk bahan batu bata. Mata cangkulnya tiba-tiba tertuju pada benda keras, yang ternyata adalah tumpukan batu bata. Setelah digali dengan hati-hati, ternyata batu bata itu adalah bibir sumur yang berdiameter 50 sentimeter dengan ketinggian sekira 1 meter.
"Dari lima sumur itu, satu di antaranya masih mengeluarkan air," katanya sembari menunjuk salah satu sumur yang belum tergali secara utuh.
Tak hanya sumur, Kandeg juga menemukan sebuah umpak kuno yang terbuat dari batu andesit. Juga beberapa batu aneh yang dipastikan sebagai benda bersejarah. Dia mengaku telah melaporkan temuan itu kepada pihak BP3 Trowulan agar segera mendapatkan perhatian. Menurutnya, dua hari lalu ada beberapa petugas dari BP3 Trowulan yang mengunjungi lokasi temuan itu. "Katanya akan diteliti. Tapi sampai sekarang belum ada tembusan lagi," tukasnya.
Meski belum mendapati kepastian atas benda temuannya itu termasuk berapa imbalan yang diberikan oleh BP3 kepadanya namun, Kandeg mengaku akan tetap menjaga benda bersejarah yang diperkirakan berada di pemukiman zaman kerajaan itu. Dia tetap berharap ada perhatian dari pihak BP3. Selama ini, tak ada penghargaan dari BP3 meski banyak warga yang menemukan benda bersejarah, katanya.
Kandeg lantas menyebut temuan berupa tembok kuno dengan panjang 100 meter lebih, tinggi 1,5 meter dan lebar 1 meter beberapa waktu lalu. Meski telah mencurahkan keringat sekitar sebulan lebih, pihak BP3 sama sekali tak memberikan imbalan sekadar pengganti lelah.
Justru imbalan itu dia terima dari Dinas Pariwisata (Disparta) setempat. "Tak hanya saya, ada salah satu warga yang menyerahkan 30 jenis patung kuno. Tapi sama sekali tak mendapatkan imbalan. Setelah menemukan tembok kuno dulu, saya pernah dijanjikan kerja oleh BP3. Tapi sampai sekarang belum terealisasi," katanya.
Temuan seperti ini kata dia, sebenarnya sering terjadi. Hampir setiap perajin batu bata selalu menemukan benda bersejarah baik berupa sumur, patung, mangkuk dan peralatan rumah tangga lainnya. Namun oleh warga, temuan itu dijual kepada pihak ketiga lantaran kecewa dengan BP3. "Jika ada perhatian dari BP3, saya yakin banyak warga yang mau menyerahkan benda temuannya," cetusnya.
Kepala BP3 Trowulan, Aris Soviani mengatakan, pihaknya telah menerjunkan petugas di lokasi temuan sumur itu. Menurutnya, ada dua jenis sumur yang ditemukan Kandeg itu, yakni jenis sumur yang terbuat dari batu bata, dan sumur jobong. "Jenisnya berbeda. Ini masih kita teliti untuk mengambil langkah selanjutnya," terang Aris.
Dugaan sementara dari hasil tinjauan pihaknya dua hari lalu, sumur-sumur itu dibuat pada zaman Majapahit. Lokasi sumur diduga sebagai pemukiman, karena salah satu ciri pemukiman terdapat banyak sumur. "Kami menduga, lokasi itu adalah catus patha atau perempatan agung Majapahit. Dan lokasi ini masih terkait dengan tembok besar yang ditemukan sebelumnya," tukasnya.
Sementara di lokasi penemuan sumur itu memang banyak ditemukan sumur. Sebelumnya, dua sumur juga ditemukan warga yang lokasinya hanya berjarak beberapa meter dari sumur temuan Kandeg. Beberapa bangunan batu bata juga dengan mudah ditemukan di lokasi yang sudah rusak akibat penggalian tanah secara sporadis oleh perajin batu bata itu. (tritus julan)
Sejak hampir sepuluh tahun yang lalu para tokoh-tokoh di Bali selalu mendengung-dengungkan kata “Ajeg Bali”. Istilah ajeg Bali dicetuskan oleh seorang bos media masa Bali Post, dan Bali TV asal Lumajang, Tabanan. Ide awal didengungkannya istilah ajeg Bali ini adalah dari kekawatiran akan lenyap dan tergerusnya budaya Bali dari pulau Bali mengingat rongrongan budaya asing yang begitu kuat. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa jika pemuka masyarakat Bali hanya berpangkutangan menyaksikan getolnya para misionaris dan kaum dakwah melebarkan sayapnya di pulau Bali, maka pulau Bali hanya akan tinggal kenangan. Namun, sudahkan usaha Ajeg Bali yang berlangsung hampir sepuluh tahun ini menunjukkan buahnya?
Seorang editor majalah News Week yang juga merupakan salah seorang keturunan keraton Solo, Surya Sasongko bercerita disela-sela kesibukannya mengurus Art Shop miliknya yang berlokasi tidak jauh dari alun-alun utara keraton Jogja. Beliau mengungkapkan keprihatinannya melihat kondisi Indonesia dan Bali saat ini. Beliau menceritakan tiga puluh tahunan yang lalu saat diajak ibu dan ayah tirinya ke Amerika Serikat, beliau masih melihat budaya Indonesia yang sangat menawan. Beliau melihat pulau Bali masih “cukup perawan”, indah dan masih layak menyandang predikat pulau Dewata. Namun apa yang terjadi saat beberapa tahun yang lalu ketika beliau kembali ke Indonesia? Katanya, Indonesia benar-benar berubah 180 drajat. Kota Solo dan Jogja yang dulunya dipenuhi dengan penduduk yang mengagungkan budaya jawa dan kearifan lokal telah berubah menjadi tidak ubahnya seperti negara Arab. Pulau Bali yang dulu masih asri, dihiasi dengan banyak pura, arsitektur Bali dan penduduknya yang ramah sekarang dihiasi dengan banyak bangunan-bangunan suci “tetangga”. Kota Denpasar yang dulunya hening dengan kidung dan geguritan lokalnya sekarang riuh dengan “irama import”. Penduduknya yang dulunya terkenal jujur dan ramah sekarang sudah menjadi acuh tak acuh. “Kemanakah Jogja, Solo dan Bali yang dulu saya kagumi?” Ujarnya. Tentunya bapak Surya Sasongko bukanlah satu-satunya orang yang merasakan fenomena ini, saya yakin anda semua yang sudah lama merantau keluar Bali atau Indonesia dan memandang secara flash back kondisi Indonesia dan Bali saat ini akan mengungkapkan hal yang serupa.
Lalu apa yang salah dengan ajeg Bali? Apakah program ajeg Bali terlambat mengatasi pengaruh negatif dari luar ataukah ajeg Bali memang tidak punya daya dan mandul?
Ada sangat banyak tokoh-tokoh Bali yang tanpa pambrih berusaha keras memperjuangkan kelestarian pulau Bali, tetapi ternyata usaha-usaha mereka tetap seperti jalan ditempat. Karena itu pastilah ada yang salah dengan slogan ajeg Bali yang senantiasa kita dengung-dengungkan selama ini.
Pada dasarnya Bali masih ada sampai saat ini hanya karena beruntung. Bali tetap ada lebih karena power dari luar, bukan karena inner power yang masyarakat Bali miliki. Sebagaimana surat berupa lontar bertanggal 1935 yang disampaikan raja Kelungkung selaku wakil raja-raja Bali kepada orang-orang Portugis di Malaka dimana dia menyatakan “Saya senang sekali jika mulai sekarang kita bersahabat dan orang datang ke pelabuhan ini untuk berdagang. Saya pun akan senang sekali jika imam-imam datang ke sini agar siapa saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen”. Namun untungnya pada masa itu penjajahan kolonial Hindia Belanda menetapkan undang-undang yang melarang para misionaris melakukan kristenisasi di Bali sebagai mana yang tercantum dalam pasal 177. Andaikan saja Belanda tidak melindungi Bali pada waktu itu, maka sebagian besar masyarakat Bali sudah menjadi Kristen. Kenyataan ini dapat kita saksikan pada saat undang-undang pelarangan Kristenisasi dicabut dan para misionaris dengan leluasanya menyebarkan ajarannya di Bali dalam waktu singkat beberapa banjar di daerah Dalung menyatakan diri sebagai Kristen. Keberadaan mereka menjadi samar-samar setelah adanya program transmigrasi dimana sebagian dari mereka ikut terbawa dan menyebar ke luar Bali.
Dewasa ini, pertahanan budaya Bali yang terakhir hanyalah sistem adat hasil kerja keras Mpu Kuturan beberapa ratus tahun yang lalu. Masyarakat adat sering kali memberikan sangsi moral kepada penduduknya yang keluar dari adat. Namun apakah sistem adat ini masih relevan dengan kondisi Bali yang saat ini sudah dipenuhi oleh pendatang?
Saat ini sistem adat bahkan diindikasikan menjadi titik lemah dalam pelestarian Bali di beberapa daerah, terutama di daerah perkotaan karena adat hanya membebankan kewajiban secara parsial kepada orang-orang yang bermukim di daerahnya. Para pendatang sama sekali tidak terkena hak dan kewajiban dari adat, sehingga implikasinya, sering kali terjadi kecemburuan sosial bagi masyarakat asli dan merupakan celah lebar untuk keluar dari adat. Orang Bali tidak ubahnya hanya dijadikan sapi perah yang menelurkan berbagai seni budaya dan hanya dijadikan “objek pertunjukan” bukan sebagai subjek. Subjek penikmat dari semua itu hanyalah para investor asing. Oleh karena itu, beberapa masyarakat Bali intelek tetapi tidak dibekali dengan pemahaman agama yang baik sering kali berkata; “Buat apa mengikuti kewajiban adat yang sangat memberatkan kalau seandainya keluar dari adat dengan cara menjadi pemeluk agama lain tidak masalah sebagaimana halnya penduduk pendatang?”. Dengan kondisi ini, siapa yang akan kita salahkan?
Para misionaris yang memiliki pendanaan yang sangat besar saat ini sangat aktif bergerilia “menyelamatkan” masyarakat Bali. Sektor pendidikan dan ekonomi mereka sudah mencengkram Bali. Mereka lebih sering mempengaruhi masyarakat yang secara ekonomi terbelakang dan juga masyarakat yang merasa terbebani oleh adat. Bahkan kesulitan akan area pemakaman yang dulu pernah terjadi karena adat melarang penduduknya yang berada di luar adat dimakamkan di sana telah teratasi dengan penyediaan area pemakaman khusus bagi mereka yang keluar adat. Bagaimana tidak, walaupun secara hukum adat semua tanah yang terletak di wilayah adat adalah milik adat, namun apakah itu sejalan dengan hukum kepemilikan tanah di negara kita? Jadi wajar kita pura dan kuburan masyarakat Bali dibeli dan dijadikan “tempat ibadah dan kuburan lain”. Sementara itu untuk menyiasati kemelekatan masyarakat Bali pada aspek budaya yang dianggap unggul dan memiliki nilai jual keluar, para misionaris juga melakukan pendekatan budaya. Mereka melakukan promosi agama dengan memperlihatkan akulturasi dengan budaya Bali, mulai dari seni tari, musik sampai kepada tempat sembahyang yang “disamarkan” menyerupai “pura”, tetapi berlambang salib. Benar-benar kamuflase yang luar biasa yang siap mengecoh para masyarakat Bali yang “bodoh”.
Lalu bagaimana menyiasati masalah ini? Dapatkah masyarakat Bali tetap bertahan dengan keindahan adat istiadat, kesenian dan budayanya tanpa adanya Hindu di sana? Apakah dengan menggantikan sistem kepercayaan Hindu dengan agama lain seperti contohnya kepercayaan Kristen kedalam budaya Bali akan menyelamatkan Bali dari kehancuran?
Untuk mencoba membuat hipotesis akan hal ini, mari kita coba melihat sejarah Bali ke belakang. Apa dan bagaimana Bali di bangun serta apa yang menjadi daya jual Bali kepada masyarakat macanegara.
Terlepas dari kontroversi bagaimana sejarah Bali sebelum adanya hubungan pulau Bali dengan kerajaan-kerajaan dari jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sendok (988 M) di Bali sudah berkembang ajaran Veda yang sangat kuat. Hampir semua cabang aliran Veda berkembang subur di pulau Bali. Tercatat bahwa ada sembilan paksa yang berbeda yang berkembang saat itu, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Buddha). Bahkan jauh sebelum itu ternyata sudah terjadi hubungan yang sangat erat antara Bali dengan orang-orang dari berbagai belahan di dunia, termasuk India dan China yang dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan lontar dari sekitar gunung Batu Karu, Tabanan. Lontar tersebut mengisahkan bahwa pulau Bali sudah menjadi tujuan dharma yatra dan pertapaan orang-orang suci sejak dahulu kala. Lontar tersebut juga memberikan informasi yang mengatakan bahwa di Bali sudah berkembang dua pedepokan spiritual dan oleh kanuragan yang disegani di seluruh penjuru dunia, yaitu perguruan Bulan Matahari dan perguruan Bulan Sabit. Hanya saja akibat permusuhan yang tidak berkesudahan akhirnya kedua perguruan ini berperang sampai titik penghabisan sehingga hampir tidak ada satupun dari mereka yang selamat. Namun dikatakan bahwa ternyata ada seorang murid Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang selamat dari perang tersebut walaupun dengan luka yang teramat parah. Murid inilah yang akhirnya melahirkan perguruan silat, tenaga dalam dan meditasi “Suling Dewata” sebagaimana yang bisa kita temukan di Batu Karu saat ini. Disana juga dikatakan bahwa ajaran Kung Fu Shaolin memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pencak silat tersebut.
Pada saat pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terjadi banyak kemelut di pulau Bali. Raja kesulitan dalam mengendalikan rakyatnya baik karena adanya banyak masab dan juga karena tingkah polah masyarakatnya. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan mpu Genijaya. Yang paling bungsu, Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, yaitu sebagai Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan dan sebagai Ketua majelis Pakira-kira I Jro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat. Akhirnya Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat besar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok dan masyrakat. Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan–perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang, yaitu;
1. Paham Tri Murti dijadikan dasar pemujaan pada Visnu, Brahma dan Siva karena dianggap dapat mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu, terutama paham Sivaism dan Vaisnava yang merupakan paham terbesar saat itu.
2. Diadakan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, dan untuk menerapan paham Tri Murti tersebut, didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu: (a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam material, (b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, (c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina. (d) Disamping itu, didirikan juga tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
3. Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
4. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
Jika kita perhatikan dalam hasil pesamuhan agung tersebut terlihat jelas bagaimana usaha Mpu Kuturan menyatukan masyarakat agar dapat bermasyarakat secara lebih kompak dalam berbagai lini kehidupan sosioreligius, dan hal inilah yang menjadi warisan tak ternilai bagi masyarakat Bali saat ini. Hal yang menarik disini, ternyata Mpu Kuturan tidak semata-mata ingin menyatukan berbagai aliran yang berbeda dan mewujudkan masyarakat yang harmonis secara material, tetapi juga mengembalikan kehidupan masyarakat Bali yang pada waktu itu dapat dikatakan kacau untuk kembali ke dalam ajaran Veda yang otentik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikasi sebagai berikut:
a. Penyembahan kepada para dewa dialihkan menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang disebut sebagai Sang Hyang Widhi Wasa (Widhi = Vidhi = Yang Maha Kuasa).
b. Meskipun masyarakat diarahkan untuk bersembahyang bersama-sama dalam khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem), namun secara cerdas Mpu Kuturan telah membagi area desa pekraman kedalam tiga area, yaitu Utama Mandala dan Madya Mandala yang merupakan area pura Desa dan Pura Puseh dan Jaba mandala yang merupakan daerah pemukiman, pertanian, kuburan dan termasuk pura Dalem yang selalu terletak dekat dengan kuburan. Yang distanakan di Pura Desa (utama mandala) adalah Sri Visnu Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan original creator of all think. Dewa Brahma yang merupakan mahluk hidup pertama dan bertindak sebagai second creation diposisikan di pura puseh (madya mandala) dan Dewa Siva yang juga merupakan Tama Guna Avatara diposisikan dekat dengan kuburan. Konsep penempatan arena pemujaan ini sangat sesuai dengan sastra Veda (Tri Guna Avatara).
c. Dalam tataran rumah tangga, dengan pembangunan tempat suci keluarga berupa rong tiga akhirnya mendorong setiap orang memuja Tuhan Yang Esa yang disebut Hyang Widhi.
d. Padmasana juga didirikan dengan menempatkan Kurma Avatara (penjelmaan Tuhan) sebagai dasar dan menempatkan Burung Garuda Visnu di bagian belakangnya.
e. Semua mantra-mantra dalam upacara juga menggunakan kata “Om Tat Sat”, yang mengacu kepada Tuhan, Bhagavan. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 17.23; “17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa”.
f. Konsep Garuda Visnu Kencana juga menjadi maskot Bali yang paling utama.
Intinya, beberapa indikasi “terselubung” tersebut mengarahkan masyarakat Bali kembali ke ajaran Veda dan hal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam budaya Bali. Lalu mungkinkah budaya Bali dipertahankan jika pondasi dasarnya, yaitu Veda tergerus dan hilang dari Bali dan digantikan dengan dasar agama yang lain?
Jika kita ingin membangun Bali dari awal dengan wajah yang berbeda yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan Bali yang dibangun oleh Mpu Kuturan, maka tidaklah masalah menggantikan ajaran Veda dengan ajaran yang lain. Namun jika kita menginginkan Bali yang ajeg yang sebagaimana yang ada sekarang dan sebelumnya, maka tidak ada opsi lain kecuali kembali ke ajaran Veda. Pura kayangan tiga tidak akan bermakna jika dirubah menjadi tempat suci lain, malahan akan mengacaukan konsep Tri Mandala. Garuda Visnu Kencana yang mendunia tidak akan berarti apa-apa jika di “jidat”-nya harus dipahat lambang agama non Vedic. Padmasana akan kehilangan roh-nya jika lambang Tuhan yang disebut “Acintya” digantikan dengan salib. Seni tari dan lukisan yang didasarkan pada Hindu akan menjadi tanpa makna jika pondasi ajaran Hindu dihilangkan.
Jadi, jika anda adalah pemuda Bali atau orang yang masih menginginkan Bali terus ada, kembalilah ke ajaran Veda, gunakan Veda sebagai pondasi dalam melakukan berbagai hal di Bali. Membanggakan seni budaya dan keindahan Bali tanpa menjaga roh-nya, Veda hanyalah merupakan kebanggaan semu. Lalu bagaimana langkah kongkrit kembali ke ajaran Veda? Terapkan ajaran-ajaran dasar dari Veda. Segera hentikan segala tindakan yang menyimpang dari ajaran Veda seperti;
a. Penyimpangan sistem Varna Asrama yang dijadikan sistem wangsa
b. Lenyapkan prostitusi, tindakan asusia dan segala hal yang bersifat asurik
c. Hentikan sambung ayam berkedok caru di pura-pura
d. Jangan menjadikan “mekemit” sebagai alasan untuk melakukan perjudian “ceki” atau domino di tempat suci.
e. Tegakkan desa pekraman dan sistem adat dengan benar. dll.
Intinya, mari kita bentengi Bali dari dalam dengan kembali ke basic, yaitu ke ajaran Veda yang otentik. Hilangkan kata-kata “nak mulo keto” (memang seperti itu) dari kamus kita, kembalikan sistem pendidikan gurukula (pasraman) dalam tatanan desa pakraman dan terapkan sistem Varnasrama dan Catur Asrama dengan tepat. Jika tidak, mari kita persiapkan hancurnya “Pulau Dewata” yang kita bangga-banggakan selama ini.
Dalam sambutannya, Raja Abhiseka Majapahit Brahmaraja XI yang dipanggil sebagai Guruh Hyang Surya ini terdengar sangat lucu dan ilmiah. Dikatakan bahwa sebelum Guruh Sukarnoputra tiba, suasana alam sedemikian mendung dan di langit terdengar suara guruh yang berkepanjangan "Grudug...Grudug...Grudug..." di Langit dan cahaya halilintar menggelegar " Pyar...Pyar...Pyar" di bagian selatan Keraton, hal ini sangat mirip dengan Guruh yang Maestro Seni, bila Suara Mahardhika [Sanggar Seni Tari Guruh] mengadakan pertunjukan, maka suara musiknya terdengar berdentam-dentam kemudian sinar lampu sorotpun berkerlap-kerlip berganti-ganti warna. Hal ini sangat mirip dengan suasana alam yang bergemuruh. Hal inilah yang membuat para pengunjung turut bersorak-sorai penuh dengan tawa. Akan tetapi Brahmaraja kelihatan demikian serius dan mengatakan ini adalah ilmiah dan kasunyatan karena memang demikianlah guruh di langit pada saat itu. Yang kemudian membuat para pengunjung kembali terdiam hening.
Lebih jauh dijelaskan bahwa Guruh adalah putra pendiri Republik Indonesia (Bung Karno), Manusia Tersakti dan terpandai di dunia, dimana jumlah titel DOKTOR Bung Karno sebanyak 26 buah, jadi ini yang membuktikan bahwa Bung Karno orang yang terpandai, kemudian dikatakan tersakti, karena Bung Karno yang sejak sangat muda sudah keluar-masuk Penjara untuk kepentingan Kemerdekaan Indonesia dan sampai dibuang ke Ende, ke Bengkulu sampai mengenal Ibu Fatmawati yang telah melahirkan Guruh. Setelah menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia yang didirikannya, Bung Karno mengalami penggranatan, penembakan dan berbagai usaha pembunuhan, akan tetapi Bung Karno tetap hidup dan ini telah membuktikan bahwa Bung Karno adalah Orang Tersakti. Namun yang paling ironis adalah bahwa justru Bung Karno meninggal di dalam Tahanan Republik Indonesia yang didirikannya.
Pada acara pertemuan ini Brahmaraja XI juga menyerahkan Cindramata berupa Patung Ganesa, simbul Dewa Terpandai dan Tersakti. Simbul Bung Karno yang diterima Guruh Sukarnoputra dengan gembira.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng Tumpak Wayang oleh Brahmaraja XI dan potongannya kemudian diserahkan kepada Guruh. Potongan tumpeng juga diserahkan kepada Raja majapahit Bali, Sri Wilatikta Tegeh Kori yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Marhaen yang didirikan oleh Bung Karno pada tahun 1963 dan kemudian berganti nama menjadi Universitas Mahendradata, karena pada saat itu nama Bung Karno dilarang dan dihapus dari sejarah oleh Pemerintah Orba. Pucuk Tumpeng kedua diserahkan kepada Ramessharty dari World Hindu Youth Organization.
Acara kemudian diteruskan dengan sambutan dari Raja Majapahit Bali yang menganjurkan agar Ajaran Bung karno tetap dilaksanakan dan dilestarikan termasuk Pancasila dan Kerukunan NASAKOM [Nasional Agama dan Komunis] yang pada saat ini kita sudah kembali rukun dengan Rusia dan China yang memakai sistem pemerintahan Komunis dimana pada era perdagangan bebas ini, China berhasil menguasai Dunia, dan kita harus bisa menerima kenyataan ini. Tepuk tangan para Pengunjungpun terdengar demikian menggema.
Pada kesempatan itu, Guruh membuat Prasasti yang berbunyi "Semoga Sinar Surya majapahit selalu bersinar di Nusantara dan Dunia". Sambil menyalami Hyang Surya, Guruh berucap : "Saya akan tetap memanggil Hyang Suryo saja, kan lebih Akrab".
Acara kemudian diteruskan dengan meninjau Musium Pura Ibu Majapahit, dimana pusaka-puasaka kembar Majapahit di pamerkan. Guruh nampak berdecak kagum ketika melihat pusaka langka tersebut akan tapi tetap sepasang dan Guruh selalu menancapkan dupa pada pusaka yang dilihatnya, karena pusaka adalah Warisan Leluhur yang harus dilestarikan, dan ketika sampai di depan Pratima Airlangga, Guruh berdoa dan menancapkan dupa kemudian memerciki Pratima Prabu Airlangga itu dengan Tirta sebanyak tiga kali. Dan beberapa saat kemudian Guruh memperoleh percikan Tirta di kepalanya sebanyak tiga kali dari tangan Brahmaraja XI, dan kemudian tirtha tersebut diminum sebanyak tiga kali, dan tirtha ke-empat diusapkan kewajahnya.
Acara kemudian diteruskan dengan melihat Keris Empu Gandring, pada saat itupun Guruh kembali menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa kagum akan keindahan keris yang belum sempurna dan bergambar Naga Kembar tapi nampak demikian indah.
Guruh kemudian berdoa di Gedong / Klenteng tempat leluhur putri yang dari China, menancapkan dupa dan kemudian memegang Pedang Kerajaan China, dimana Pedang ini banyak dipegang oleh Caleg [Calon Legislatif] Pemilu 2009 dan semua yang berhasil memegang Pedang ini bisa masuk menjadi pejabat legislatif.
Guruh kemudian berdoa dihadapan dawang berkepala naga yang biasanya menjadi Kaki Candi, yang berfungsi sebagai penguat agar candi tidak goyang dan Naga berfungsi sebagai Pengikat yang disebut sebagai Putaran Mandara Giri. Dawang (Kura-Kura) yang terbuat dari Batu Giok pada masa Peninggalan Dinasti MING berangka tahun 1482 ini, sangat mirip dengan Dawang yang dikendarai oleh Dewi Kwan Im Bertangan Seribu yang kalau di Bali disebut sebagai Durga Mahisa Nandini, yang sering juga diupacarai di Universitas Mahendradata.
Dengan dikawal oleh tarian Barongsai, akhirnya pada pukul 22.oo Guruh meninggalkan Puri Majapahit. Doa restupun disampaikan oleh Hyang Suryo yang ber-Abhiseka Sri Wilatikta Brahmaraja XI, sambil memohon agar selalu selamat dan sejahtra dalam perjuangan di Ranah Politik yang sedang diembannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] dan Majelis Permusyawarahan Rakyat [MPR] Republik Indonesia, untuk melaksanakan cita-cita Bung Karno sebagai Ayah Biologis dan Idiologis dimana Ajaran Sukarno [Sukarnoisme] bisa dilaksanakan. Karena terbukti ajaran Sukarnoisme masih relevan pada saat kondisi bangsa yang mulai terpecah-belah, serta kurangnya Cinta Tanah Air [Nasionalisme]. Kita harus Berdiri Diatas Kaki Sendiri [Berdikari] dalam Bidang Ekonomi yang juga pernah diajarkan oleh Bung Karno serta Menyatukan Nasional, Agama dan Komunis [NASAKOM] dimana pada dekade 1965-1966 yang lalu Nasionalisme dan Komunisme berhasil ditumpas oleh Islam dan kini hampir menjadi Negara Islam, dimana Gereja Kristen banyak di Hancurkan, bahkan dibom, kebebasan beragamapun di Pasung oleh Islam, bahkan kepercayaan dan budayapun dihancurkan dan dituduh sesat oleh Majelis Ulama Islam Indonesia [MUII] dan bahkan banyak hal yang diharamkan, agar dapat mengikuti Quran dan Hadist Arab.
Ada satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh Brahman: Brahman tidak bisa memisahkan Dirinya dari kita. Kenapa? Dalam ilmu spiritual Jawa disimpulkan dalam kalimat ya sira ya ingsun. Karena Brahman adalah hidup kita.
Kalimat sangkan paraning dumadi sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Jawa, terutama mereka yang mendalami ilmu spiritual. Ilmunya pun banyak yang menyebutnya dengan istilah ngelmu sangkan paran dengan manunggaling kawula lan Gusti sebagai pencapaian puncaknya. ini sangat sesuai dengan tuntunan Weda sehubungan dengan pelaksanaan dharma sadhana. Para rishi menyatakan bahwa kita bukan badan, pikiran atau emosi kita. Kita adalah jiwa-jiwa agung dalam perjalanan yang mengagumkan. Kita datang dari Brahman, hidup dalam Brahman dan berkembang menuju keesaan Brahman. Kita ada dalam kebenaran, Kebenaran yang kita cari-cari.
Kita adalah jiwa-jiwa abadi yang hidup dan tumbuh dalam langkah-langkah kemajuan yang mengagumkan dan pengalaman keduniawian di mana kita hidup menikmati Hidup. Para rishi Weda telah memberi kita keberanian dengan mengucapkan kebenaran sederhana, “Brahman adalah Hidup dan hidup kita.” Seorang siddhaguru membawa ini lebih jauh dengan mengatakan, ada satu hal yang tidak bisa dilakukan Brahman: ”Brahman tidak bisa memisahkan Dirinya dari kita. Kenapa? Dalam ilmu spiritual Jawa disimpulkan dalam kalimat ya sira ya ingsun. Karena Brahman adalah hidup kita.
Brahman adalah hidup pada burung.
Brahman adalah hidup pada ikan. Brahman adalah hidup pada hewan. Menyadari akan energi Hidup ini pada semua makhluk, kita akan menyadari kehadiran kasih Brahman dalam diri kita. Kita adalah kesadaran dan energi kekal yang meliputi segala hal. Di sisi dalam, kita ini sempurna setiap saat, dan kita harus mengetahui dan berbuat sesuai dengan penyempurnaan ini agar menjadi murni. Energi kita dan energi Brahman adalah sama, tidak ada bedanya sama sekali. Kita semua adalah anak-anak manis dan Brahman. Setiap han kita harus berusaha melihat energi hidup di pepohonan, burung, hewan dan manusia. Bila hal ini kita lakukan, kita melihat Brahman sedang beraksi. Weda meyakinkan, dia mengetahui Brahman sebagai Hidup dari hidup. Mata dari mata, Telinga dari telinga, Pikir dari pikiran, dia sungguh memahami sepenuhnya Sebab dan semua sebab.
Kim semua tumbuh berkembang meritju Brahman. Dan pengalaman adalah - lannya. Ngelmu iku kelakone kanthi lab. tanpa laku tangeb lamun kelakon. “Laku adalah sadhana (disiplin kerohanian), dan orang yang sedang melaksanakan sadha yang ketat disebut nglakoni, misalnya: tapa mbisu (monabrata), nglelana (dharmayatra), mutih (hanya makan nasi dan minur air putih), ngrowot (hanya makan umbi-umbian), dan berbagai “laku” ekstrim, seperti: nglelana dengan hanya mengenakan cawat, mengemis, dan lain-lain yang bagi orang umum sangat nyeleneh yang sebenarnya dilakukan bukan untuk menjadi perhatian khalayak, tetapi untuk menyingkirkan ego yang melekat pada dirinya. Melalui pengalaman spiritual kita menjadi dewasa di sisi kerohanian. Keluar dari rasa takut menuju ketabahan. Keluar dari kemarahan menuju cinta kasih. Keluar dari perselisihan menuju perdamaian. Keluar dari kegelapan menuju kecerahan dan menyatu dalam Brahman.
Kita telah mengambil kelahiran di dalam tubuh fisik (tumimbal lahir) untuk tumbuh dan berkembang menuju energi potensial kita yang sangat hebat. Kita di dalam batin telah menyatu dengan Brahman. Agama Hindu berisi pengetahuan bagaimana cara menyadari keesaan ini dan tidak menciptakan pengalaman-pengalaman yang tidak dikehendaki.
Jalan yang terbaik adalah mengikuti jejak dari nenek moyang spiritual kita, menemukan arti penuh rahasia dari pustaka-pustaka Weda. Jalan yang terbaik adalah komitmen, belajar, disiplin, pengamalan dan matang dalam yoga menuju kearifan. Pada langkah-langkah awal, kita merasa menderita sampai kita menjadi terlatih. Pengetahuan Weda menuntun kita pada pelayanan; sepi ing pamrih rame ing gawe, dan pelayanan tanpa pamrih adalah awal dari tuntunan spiritual. Pelayanan menuntun kita pada pemahaman. Pemahaman menuntun kita pada meditasi yang mendalam dan tanpa gangguan. Akhirnya, meditasi menuntun kita berserah diri kepada Brahman. Ini adalah jalan lurus dan pasti, menuntun kita ke arah Guru Sejati, Sukma Jati, Kajaten, atau apa pun istilahnya yang tiada lain adalah kesadaran Atman tujuan hidup paling utama dan kemudian menuju moksha, terbebas dan reinkarnasi.
Weda secara bijaksana meyakinkan, “Dengan kecermatan, kebaikan diperoleh. Dari kebaikan, pemahaman dicapai. Dari pemahaman, Jati Diri diperoleh, dan dia yang mencapai kesadaran Atman dibebaskan dan putaran kelahiran dan kematian.”
Tarian Brahman
Semua gerakan berawal dari Brahman dan berakhir pada Brahman. Keseluruhan dari alam semesta terlibat dalam pusaran aliran dari perubahan dan aktivitas ini adalah tarian Brahman. Kita semua menari bersama Brahman, dan Dia bersama kita. Akhirnya, kita adalah tarian Brahman.
Dunia terlihat seperti tersebut di atas sesungguhnya adalah keramat, hanya ketika kita melihat tarian kosmis Brahman. Segala hal di alam semesta, semua yang kita lihat, dengar dan bayangkan, adalah pergerakan. Galaksi-galaksi melayang tinggi dalam pergerakan; pusaran atom-atom dalam pergerakan. Semua pergerakan adalah tarian Brahman. Bila kita berusaha melawan pergerakan ini dan berpikir semestinya selain dari ini, kita dengan berat hati menari bersama Brahman. Kita dengan keras kepala menentang, menganggap diri kita terpisah, mengkritisi proses dan pergerakan alami sekeliling kita.
Dengan pemahaman kebenaran abadi tersebut kita bawa semua bidang pikiran kita ke dalam pengetahuan bagaimana cara menerima apa adanya dan tidak mengharapkan menjadi yang sebaliknya. Bilamana itu terjadi, kita mulai secara sadar untuk menari bersama Brahman, bergerak dengan aliran suci itu mengelilingi kita, menerima pujian dan cacian, kegembiraan dan duka-cita, kemakmuran dan kesulitan dalam ketenangan jiwa, buah dan pemahaman. Kita kemudian dengan anggun, tak kenal menyerah, menari bersama Brahman. Weda menyatakan, “Jiwa kosmis sesungguhnya adalah keseluruhan alam semesta, sumber abadi semua kreasi, semua aksi, semua meditasi. Siapapun menemukan Dia, tersembunyi jauh di dalam, memotong ikatan kebodohan, tenang selama hidupnya di dunia.”
Tarian adalah pergerakan, dan tarian paling sempurna adalah tarian sebaik-baiknya disiplin. Disiplin Spiritual Hindu menuntun ke arah keesaan dengan Brahman melalui refleksi diri, penyerahan diri, transformasi personal dan banyak yoga.
Untuk kemajuan di jalan ini, kita mempelajari Weda, buku-buku tentang disiplin spiritual Hindu dan guru-guru sadhana kita dan berusaha keras menerapkan kebenaran filosofis ini pada pengalaman hanian. Kita berusaha mengerti pikiran dalam alam rangkap empatnya, yaitu: chitta (kesadaran), manah (naluri), buddhi (akal budi), dan ahamkara (ego atau keakuan). Kita melakukan japa, meditasi dan yoga setiap hari. Disiplin spiritual seperti itu dikenal sebagai sadhana. Ini adalah latihan kebatinan, mental, fisik dan kebhaktian yang memungkinkan kita untuk menari bersama Brahman dengan membawa kemajuan sisi dalam, perubahan persepsi dan perbaikan karakter.
Sadhana memungkinkan kita untuk hidup dengan sifat jiwa yang sopan dan terpelajar. Lebih baik daripada sisi luar, naluriah atau bidang intelektual. Untuk kemajuan yang konsisten, sadhana harus dilakukan secara teratur, dengan pasti, pada waktu yang sama setiap hari, lebih baik pada jam-jam awal sebelum fajar. Sadhana paling utama adalah tantangan dan latihan yang diberikan oleh seorang guru sadhana. “Gusti” = bagusing ati (Brahman = kebijaksanaan), akronim seperti itu sesuai dengan pesan Weda. Weda memperingatkan, “Kesadaran Atman tidak bisa dicapai dengan kelemahan, kecerobohan, serta kedisiplinan tanpa tujuan. Tetapi jika onang telah memiliki pemahaman yang benar, kemudian berusaha dengan cara-cara yang benar, jiwanya memasuki tmpat kediaman Brahman.”
Atman Brahman Aikyam
Tujuan akhir hidup di atas bumi adalah untuk menyadari Atman, pencapaian yang tidak gampang dan nirvikalpa samadhi. Setiap jiwa menemukan Ketuhanannya, Realitas Absolut, Brahman yang kekal, tanpa waktu, tanpa bentuk, tanpa ruang, Sang Atman.
Realisasi dan Atman, Brahman, kodrat dan setiap jiwa, dapat dicapai melalui renunsiasi (penolakan atau penyangkalan), diteruskan meditasi dan membakar benih-benih karma yang masih bertunas. Ini adalah pintu gerbang menuju moksha, pembebasan dan reinkarnasi. Atman berada di luar perkiraan pikiran, di luar perasaan yang alami, di luar aksi atau pergerakan bahkan bagian tertinggi dan kesadaran (chitta).
Pribadi lebih solid daripada sebuah neutron, lebih sukar dipahami daripada ruang hampa, lebih mendalam daripada pikiran dan perasaan. Ini realitas terakhir diri kita, Kebenaran terdalam yang dicari-cari semua pencari Brahman. Ini adalah suatu yang berharga untuk diperjuangkan. Ini perjuangan bernilai tinggi yang dijalani dengan susah payah untuk membawa pikiran di bawah perintah kehendak.
Setelah Atman disadari, pikiran terlihat sebagai sesuatu yang maya, tidak nyata, itulah sesungguhnya. Karena kesadaran Atman harus dialami di dalam tubuh fisik, putaran jiwa kembali lagi dan lagi ke dalam badan jasmani untuk menari bersama Brahman, hidup bersama Brahman dan akhirnya manunggal dengan Brahman menyatu dalam keesaan-Nya. Ya, Atman sebenarnya Brahman (Atman Brahman Aikyam). Weda menjelaskan, “Seperti air dituangkan ke dalam air, susu dituangkan ke dalam susu, menjadi satu tanpa diferensiasi, Atman dan Parama Atman menjadi satu.” Agustus 2009- MediaHindu 66
Majapahit. Entah sudah berapa puluh kali saya melewati jalan batutulis, tapi masih saja nggak "ngeh" (sadar) bahwa didaerah situ terdapat prasasti yang sudah berumur ribuan tahun peninggalan kerajaan Tarumanegara. Tentu bukan salah saya 100% karena meskipun lokasinya tepat ditepi jalan batutulis, susah dikenali atau dibedakan dengan bangunan pertokoan atau rumah penduduk. Malah sepintas mirip dengan kantor kelurahan atau kantor pemerintahan sejenis lainnya. Terlebih lagi daerah tersebut boleh dibilang padat arus lalu-lintasnya sehingga mata pengemudi akan cenderung mengamati jalan raya, waspada bila tiba-tiba saja ada angkutan umum yang dengan santai memotong jalan atau berhenti mendadak. Berada dalam sebuah bangunan ukuran +/- 5x5 meter, yang dipagari besi dan tanaman pada sisi dalamnya, praktis lokasi ini sama sekali tidak menarik perhatian atau mengisyaratkan ada benda istimewa didalamnya. Papan wisata yang adapun dipasang sejajar dengan badan jalan sehingga agak susah dibaca kecuali benar-benar tepat berada didepan/diseberang jalan.
Prasasti batutulis memang merupakan bagian sejarah dari kota bogor. Terletak di kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, dulunya lokasi ini ribuan tahun yang lalu berada ditempat yang hening, sepi dan berkabut. Bahkan bagi penduduk setempat dipercaya sebagai tempat sarang harimau yang kemudian menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara kerajaan Pajajaran yang sirna dengan harimau. Scipio, seorang ekspedisi Belanda yang ditugaskan untuk membuka daerah pedalaman jakarta, melukiskan betapa hormat dan khidmatnya mereka (orang pribumi dalam rombongan ekspedisi), menghadapi situs Batutulis sampai mereka berani melarang Scipio yang merupakan pimpinannya menginjakkan kaki kedalamnya karena ia bukan orang Islam, jelas sekali mereka menganggap tempat itu "keramat", karena disitu, menurut mereka, terletak tahta atau singgasana raja Pajajaran. Dengan keyakinan seperti itu, bila pada saat mereka pertama kali menemukan tempat tersebut lalu melihat seekor atau beberapa ekor harimau keluar dari dalamnya, mereka tidak akan menganggapnya sebagai hewan biasa.
Menurut catatan sejarah, prasasti itu dibangun tahun 1533 oleh Prabu Surawisesa, sebagai peringatan terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Prabu Siliwangi memerintah pada 1482 - 1521. Raja sakti mandraguna itu dinobatkan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana, lalu bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di kompleks itu terdapat 15 peninggalan berbentuk terasit, batu yang terdapat di sepanjang Sungai Cisadane. Ada enam batu di dalam cungkup, satu di luar teras cungkup, dua di serambi dan enam di halaman. Satu batu bercap alas kaki, satu batu bercap lutut, dan satu batu besar lebar yang berisi tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Konon prasasti batutulis itu dibuat oleh Prabu Surawisesa sebagai bentuk penyelasannya karena ia tidak mampu memepertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang dimanatkan padanya, akibat kalah perang dengan kerajaan Cirebon.
Perang Pakuan-Pajajaran berlangsung selama 5 tahun. Cirebon yang didukung kerajaan Demak berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan setelah pasukan meriam Demak datang membantu tepat pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Laskar Galuh (Pakuan) tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar, menyemburkan kukus ireng, bersuara seperti guntur dan memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam sehingga jatuhlah Galuh diikuti dua tahun kemudian dengan jatuhnya pula kerajaan Talaga, benteng terakhir kerajaan Galuh.
Prasasti yang terpahat dibatu tersebut tersusun dalam 9 baris tulisan. Adapun bunyi dan arti dari prasasti tersebut tiap baris adalah:
Wangna pun ini sasakla prabu ratu purane pun diwastu : Wangna ini tanda peringatan bagi Prabu almarhum dinobatkan.
Diya wingaran prebu guru dewata prana diwastu diya dingaran sri : Dia bernama prabu guru dewata parana dinobatkan lagi dengan nama Sri
Baduga maharaja ratu haji di pakuan pajajaran sri baduga ratu de : Baduga maharaja ratu haji dipakwan Pajajaran sang ratu de-
Wata pun ya nu nyusuk na pakuan diya anaka rahyang dewa nis : wata dialah yang membuat parit pakwan dia anak sangyang dewa nis-
Kala sang sida mokta di guna tiga incu rahyang nisakala wastu : kala yang mendiang di guna tida cucu rahyang niskala wastu
Kancana sang sida mokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakaka : kencana yang mendiang ke nu salarang dialah yang membuat tanda pe-
La gugunungan ngabalay nyian sanghyang talaga : ringatan gugunungan, membuat teras di lereng bukit membuat hutan samida, telaga
Rena maha wijaya ya siya pun i saka panca panda : rena maha wijaya ya dialah itu dalam tahun saka lima li-
Wa emaban bumi .. : ma empat satu (1455) => dalam tahum masehi 1533.
Disebelah prasasti itu terdapat sebuah batu panjang dan bulat sama tingginya dengan batu prasasti. Batu panjang dan bulat (lingga batu) ini mewakili sosok Sri Baduga Maharaja sedangkan prasasti itu sendiri mewakili sosok Surawisesa. Penempatan kedua batu itu diatur sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang; akan tetapi ia tidak berani berdiri sejajar dengan si bapak. Demikianlah batutulis itu diletakkan agak kebelakang disamping kiri lingga batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu didepan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan dan satunya berisi padatala, ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batu tulis itu bertepatan dengan dengan upacara srada yakni "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Dengan kata lain, prasasti batutulis merupakan bukti rasa hormat seorang anak terhadap ayahnya, dan merupakan suatu hal yang perlu diteladani oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.
Majapahit. Proses penggalian Candi Kimpulan yang ditemukan di kompleks kampus Universitas Islam Indonesia, Sleman, DI Yogyakarta, kembali mengungkap fakta baru. Arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta menemukan arca lingga-yoni di candi perwara (pendamping), Selasa (12 Januari 2010).
Hal ini mengejutkan para arkeolog karena lingga-yoni tak lazim berada di candi perwara, melainkan hanya terdapat di candi induk. "Hal seperti ini belum pernah ditemukan di candi-candi lain," kata Budi Sancoyo, salah satu arkeolog BP3 Yogyakarta yang bertugas dalam ekskavasi tersebut.
Lingga-yoni di candi perwara berukuran 4 x 6 meter itu berdiri sejajar dengan dua buah lapik (batu sesembahan), arca nandi (sapi), dan sebuah sumur batu berukuran 80 x 80 cm dengan kedalaman sementara 40 cm yang ditemukan sebelumnya.
Sumur itu sendiri juga menjadi keunikan karena tidak lazim ditemukan dalam candi dan belum diketahui fungsinya. Adapun lingga-yoni sebelumnya telah ditemukan bersama arca Ganesha dalam candi induk yang berukuran 6 x 6 meter.
"Kami belum bisa menyimpulkan arti temuan lingga-yoni dan sumur yang ada di candi perwara ini karena harus menggali referensi-referensi lain," kata Budi.
Sebelumnya, Candi Kimpulan juga dinyatakan unik karena struktur bangunannya yang merupakan kombinasi batu dan kayu. Arca yang ditemukan juga memiliki desain yang berbeda dengan desain-desain Ganesha di candi lain.
Lihat juga Patung Ganesa di UII
Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”
Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”
Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.
Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.
Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.
Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?
Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”
Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok dituruti perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”
Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”
Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat takut akan keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni. Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja. Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja. Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa. Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta: Putri jelita bersemayam di Lasem. Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi putri bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa. Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Sri Paduka.
Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.
Di selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara. Pada masa gerhana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur. Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi. Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua. Di sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga. Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga. Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana. Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.
Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua darmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana. Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya terpencar di halaman. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.
Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda. Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain. Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.
Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara. Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran begawan Empu Barada, serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa. Tapi yang membangkang, melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang telah mashur lagi berjasa. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara. Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.
Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai.
Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga hingga desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun. Pada tahun 1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun 1276 ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun 1279, ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman. Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah. Karya kakawin, begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci.
Ratnapangkaja serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongglang serta Jingan. Kuwu, Hanyar letaknya di tepi jalan. Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya. Rakrian sang Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan. Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma mas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala. Beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar meran indah. Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling muka.
Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang. Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap. Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi kerabat. Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung. Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang. Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung. Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda. Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri Paduka memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada, teratur rapi. Di situlah Sri Paduka menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.
Sampai di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan minum. Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa Kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan. Fajar menyingsing, berangkat lagi Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.
Di Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam lagi. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.
Malam berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya. Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar.
Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan Bangkong dua desa tanpa cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi. Beramai-ramai Sri Paduka telah sampai di desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda. Semua Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan. Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan putus sastera. Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.
Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau. Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti dewa-dewi. Para putri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran cengang. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia. Selama kunjungan di desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.
Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri Agung seluruh Jawa Timur berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat. Hanya pujangga yang menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda Panji Kertayasa. Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara agama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah arya megah. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat. Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas. Atas perintah sang arya semua Mahamantri Agung menghadap. Wiraprana bagai kepala upapati Siwa-Buda. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di Kalayu Sri Paduka berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka Prabu.
Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat sigi” nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Paduka menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meraba gadis remaja. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya. Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang, Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.
Segera Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang. Berangkat dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu. Sang pujangga Empu Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.
Suka cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung, karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan. Tiada sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan priya, tua muda nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.
Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapan. Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya: dewa asmara turun untuk datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam raga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju desa Ganding. Para mentri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.
Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota. Empu Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa. Hujung Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat Kekancingan pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca. Isi Serat Kekancingan: tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitupula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung Isi Serat Kekancingan membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Sri Paduka mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya harta, perlengkapan, makanan dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera, disambut sorak-sorai dari penonton. Habis penyekaran, Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buda dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa lahap Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah. Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara.
Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar. Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru dengan arca Batara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai Dewa Bhatara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia. Sebelah selatan candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam. Hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya. Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu.
Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya. Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan Bhatara. Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal. Sesudah menyembah bhatara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng. Keindahan Bureng: telaga bergumpal airnya jernih. Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan. Terlewati keindahannya, berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi.
Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana. Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur. Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsafannya. Tamu diterima dengan girang dan ditegur:
“Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?”
Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap. Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan. Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.
Paduka Empuku menjawab :
“Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh”.
Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur. Semoga rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela. Pada tahun 1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak. Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putra sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama Kotaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun 1144 Saka, beliau melawan raja Kediri Sang Adiperwira Kertajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah Narpati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata. Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun 1149 Saka beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.
Batara Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun 1170 Saka beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi pasareyan Kidal. Batara Wisnu Wardana, putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan Siwa di bumi. Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya. Segenap rakyat Kediri Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia. Prabu Kerta Negara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kotaraja bertambah makmur, berganti nama praja Singasari. Tahun 1192, Raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda. Sementara itu Batara Nara Singa Murti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa. Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat. Bernama Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192. Tahun 1197 Saka, Sri Paduka menyuruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.
Tahun 1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara. Tahun 1206 Saka, mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Sri Paduka sebagai orang tawanan. Demikianlah dari empat jurusan orang lari berlindung di bawah Sri Paduka. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur di hadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka waspada, tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Buda. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.
Menurut kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun 1209 Saka, beliau pulang ke Budaloka. Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia murka, timbul huru hara. Hanya batara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagad. Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama. Berlumba-lumba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama-tama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati.
Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba. Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung. Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama. Beliau diberi gelaran: Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda. Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana. Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri. Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri. Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir. Semua raja berbakti kepada cucu putra Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar. Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali. Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.
Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali. Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh. Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana. Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri Buwana yang sulung, luput dari cela. Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni. Pernikahan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti. Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan. Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan putranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara. Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau. Dan di pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.
Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha. Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Paduka. Tahun Saka 1250, beliau berpulang. Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda Rajapatni. Sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta. Tahun Saka 1253 sirna musuh di Sadeng, Keta diserang. Selama bertakhta, semua terserah kepada Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat, tenteram”.
Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata. Barang siapa mendengar kisah raja. Tak puas hatinya, bertambah baktinya. Pasti takut melakukan tindak jahat. Menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Paduka Empu minta maaf berkata :
“Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu. Bagai buahnya, gubahlah puja sastra”.
Habis jamuan rakawi dengan sopan. Minta diri kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Sri Paduka. Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu. Lengkap dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak. Bala bulat beredar membuat lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru den membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan Alaspati terbakar. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari. Malah manengah berkumpul tumpuk timbun. Banyaknya bagai banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci. Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
"Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari. Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?"
Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat. Kijang menjawab:
“Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”. Kaswari, rusa dan kelinci setuju. Banteng berkata:
“Amboi! Celaka kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
Kerbau, lembu serta harimau setuju dengan pendapat ini. Jawab singa:
“Usulmu berdua memang pantas diturut, Bung. Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda. Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk. Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama dari pada terjun ke dalam telaga. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh. Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang."
Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya. Tertahan tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh. Dengan anaknya dirayah tak berdaya. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya seruncing golok. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.
Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah! Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun. Ada pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.
Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam. Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu. Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda. Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara. Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur. Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi. Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbul-kan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci. Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti. Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang. Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.
Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun. Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai. Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga. Di sisinya lukisan putri istana berseri-seri. Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap pemandangan. Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada. Ke timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka. Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam. Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang. Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.
Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap. Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap bersama-sama. Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan. Di sisi Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap. Paginya pasukan kereta Sri Paduka berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak. Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui. Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.
Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang. Rani Daha, rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar. Diiring beberapa ribu perwira dan para mentri. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas. Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang. Gemuruh dengung gong menampung Sri Paduka Prabu datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang. Gajah. kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan bejalan belakang. Lada, kesumba, kapas, buah kelapa. Buah pinang, asam dan wijen terpikul. Di belakangnya pemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan. Kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di keranjang merunduk. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung, seludang, cempaluk. Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk. Gelaknya seperti hujan panah jatuh. Tersebut Sri Paduka telah masuk pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu Membuat girang semua sanak kadang. Waktu lalu Sri Paduka tak lama di istana. Tahun Saka 1282, Badra pada. Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan. Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.
Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai. Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi pasareyan leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi. Diukur panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah masing-masing. Tersebut paginya Sri naranata dihadap para mentri semua. Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.
Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata:
“Sri Paduka akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Atas Perintah sang rani Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri Padukapatni dilangsungkan Sri Paduka. Di istana pada tahun Saka 1284 bulan Badrapada. Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi sumbangan.”
Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira. Sri Paduka Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri. Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Paduka. Tersebut sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil Ada yang mengetam baki makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan. Ketika saatnya tiba tempat telah teratur sangat rapi. Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.
Satu di antaranya berkaki batu karang bertiang merah. Indah dipandang semua menghadap ke arah takhta Sri Paduka. Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga. Serta pendeta Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi. Demikian persiapan Sri Paduka memuja Buda Sakti. Semua pendeta Buda berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra. Umurnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, mantra dan japa dilakukan tepat menurut aturan. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.
Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara. Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan di atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja. Berikut para raja, parameswari dan putra mendekati arca. Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju ke muka berdatang sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur. Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap Bersusun timbun seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu. Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari nganga mulutnya. raja Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat Disertai penyebaran harta di lantal balai besar berhambur-hamburan.
Elok persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik manis Dipertunjukkan selama upacara untuk mengharu-rindukan hati. Paling haibat persembahan Sri Paduka berupa gunung besar. Mandara Digerakkan oleh sejumlah dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang, di tengah-tengah lautan besar. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, Mahamantri Agung, pendeta dapat makanan sekenyangnya Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan para abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara. Pada hari keenam pagi Sri Paduka bersiap mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.
Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari dibelit rajasa. Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Sri Paduka Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan, makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air. Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur. Sri Nata menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya. Paginya pendeta Buda datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi. Lodang lega rasa Sri Paduka melihat perayaan langsung lancar. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun 1274. Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah. Karena cinta Sinuwun Prabu Airlangga kepada dua putranya. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Empu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman. Girang beliau menyambut permintaan Airlangga membelah negara. Tapal batas negara ditandai air kendi mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.
Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil. Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu. Prajnya Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri Padukapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Sri Paduka. Di Bayalangu akan dibangun pula candi pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.
Tersebut pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara. Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta Rajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar AdiMahamantri Agung Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di pulau Bali serta kota Sadeng memusnahkan musuh. Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun 1286 Saka beliau mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus asa.
Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari. Sri Paduka segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada. Yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang-menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan. Sri Paduka berpegang teguh, AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul keberatan beliau sendiri bertanggung jawab. Memilih enam Mahamantri Agung yang menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan. Sri Paduka. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredaMahamantri Agung. Karib Sri Paduka bernama Empu Tandi. Penganut karib Sri Baginda. Pahlawan perang bernama Empu Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat.
Mancanegara bergelar tumenggung. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan negara Dompo. Serba ulet menanggulangi musuh. Jumlahnya bertambah dua Mahamantri Agung. Bagai pembantu utama Sri Paduka. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para upapati. Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda. Selalu ditaati di istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Sri Paduka. Demikian titah Sri Baginda. Puas, taat teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari setya baktinya. Karena Sri Paduka yang memerintah. Sri Paduka makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Mashur nama beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan batara. Candi pasareyan serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala. Yang belum siap diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.
Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat Kekancingan pada ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun. Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan. Disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang Brat dan Jago. Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger. pasareyan rani: Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri. Di Bayatangu yang baru saja dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra. Dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.
Orang utama, yang saksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada Sri Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam. Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Sri Paduka. Darmadyaksa kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara kebudaan. Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan. Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma, Harimandana, Utamasuka Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika. Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.
Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara, Kutahaji Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi serta Wadari Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta Kanuruhan Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Engtal. Wengker, Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Padurungan. Pindatuha, Telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi. Sukalila Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan sebagainya. Selanjutnya disebut berturut desa kebudaan Bajradara: Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang, Tanjung. Amretasaba Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara Tidak juga terlangkahi Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi, Tangkil.
Asahing, Samici serta Acitahen Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan. serta Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala. Badur, Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta Bajrasana Pajambayan. Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji, Wangkali, Biru. Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan Bajradara yang sudah berprasasti. Desa keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.
Wangjang, Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa Jumpud. Soba, Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang : Kulampayan dan Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan serta Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Sri Paduka Prabu. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berSerat Kekancingan dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan. Pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka Prabu. Semua tata aturan patuh diturut oleh pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu. Badaha lo Gajah ditugaskan. Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya. Perdikan kebudaan Bali seperti berikut, biara Baharu (hanyar). Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Aryadadi. Berikut candi pasareyan di Bukit Sulang lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas Serat Kekancingan. Pada tahun Saka 1260 oleh Sri Paduka Jiwana.
Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya: upasaka wreda mentri. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Demikianlah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut. Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara. Besarlah minat Sri Paduka untuk tegaknya tripaksa. Tentang Serat Kekancingan beliau besikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata gila dan adat-tutur diperhatikan. Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.
Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina urusan negara. Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan sudra dengan gembira menepati tugas darmanya. Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan. Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa dan perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah. Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya. Demikianlah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata. Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabu. Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.
Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura, Kapulungan Sri Paduka sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi. Semua Mahamantri Agung mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata. Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera. Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya. Hanya Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut negara utama Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol bijak di dalam kerja. Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.
Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat sejahtera negara. Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli, penjual, barang terhampar di dasaran. Berputar keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Buda. Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan Sri Paduka.
Tersebut pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri Paduka berkirap. Selama kirap keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana. Ditatatng jempana kencana, panjang berarak beranut runtun. Mahamantri Agung, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam. Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut Bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh Jawa. Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna. Telah naik Sri Paduka di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang nampak, semua serba mulia, sebab Sri Paduka memang raja agung. Serupa jelmaan. Sang Sudodanaputra dari Jina bawana. Sri nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan paling muka. Lepas dari singasana yang diarak pengiring terlalu banyak.
Mahamantri Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul. raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu raja Kediri dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara. Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Sri Paduka dan para pembesar seluruh Jawa. Penuh berdesak sesak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak wanita tua muda, berjejal berimpit-impitan. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci di dulang berukir. Mahamantri Agung serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka. Mahamantri Agung, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir.
Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa, dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat. Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa. Di arak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan Mahamantri Agung di dalam kelompok. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongengan parwa. Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana.
Tempat menampung Sri Paduka di panggung pada bulan Caitra. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk raja dan arya. Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya. Di situlah Sri Paduka memberi rakyat santapan mata. Pertunjukan perang tanding, perang pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang, menggembirakan. Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai. Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Sri Paduka menjgmu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka. Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di pura Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Paduka duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.
Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana:
“Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri Paduka Prabu Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah Perhatikan tanah rakyat jangan sampai jatuh di tangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar."
Sri nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran memperbesar desa. Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.
Agar bertambah kekayaan Sri Paduka demi kesejahteraan negara. Kemudian bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran:
“Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya terutama bea-cukai, pelawang supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan. Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya “
Begitu perintah Sri Paduka kepada wadana, yang tunduk mengangguk Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Mahamantri Agung upapati serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba menurut adat agama dari zaman purba. Makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serta serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut acara. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing. Hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari pelbagai desa.
Mereka diberi kegemaran, biar puas. Mengalir pelbagai minuman keres segar. Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya. Itulah hidangan yang utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta mabuk. Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir menghampiri tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan. Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Paduka. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Seolah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain. Disuruh menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama. Mahamantri Agung upapati berurut mengelir menyanyi. Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak pujian. Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu. Tercengang dan terharu hadirin mendengar suar merdu. Semerebak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap menghalu kalbu bagai desiran buluh perindu. Arya Ranadikara lupa bahwa Sri Paduka berlagu. Bersama Arya Ranadikara mendadak berteriak. Bahwa para pembesar ingin belia menari topeng. “Ya!” jawab beliau, segera masuk untuk persiapan.
Sri Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak. Bergegas lekas panggung di siapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat hati. Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar. Lagu rayuan Sri Paduka bergetar menghanyutkan rasa. Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar. Sri Paduka warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengirignya di belakang, bagus, bergs, pantas. Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan tingkah lakunya. Itulah sebabnya benyolannya selalu kena. Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar meminta diri mencium duli paduka. Katanya:
”lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”.
Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana. Demikianlah suka mulia Sri Paduka Prabu di pura, tercapai segala cita. Terang Sri Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda. Dengan laku utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana. Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka. Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa. Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad. Semua orang tinggi, sedang, rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdo’a agar Sri Paduka tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri Paduka. Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa. Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian. Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana. Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara. Empu Prapanca bangkit turut memuji Sri Paduka meski tak akan sampai pura.
Maksud pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan rakyat. Tahun Saka 1287 bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desa Warnana. Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika membaca hikmat kalimat. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar.
Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin. Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.
Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan? Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan bagai sepegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.
Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu. Pipinya sembab, matanya ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali. Ingin menyamai Empu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi. Terus bertapa berata. Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai. Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.
Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela di dalam pura.
Source : http://religi.wordpress.com/2007/03/16/kitab-negara-kertagama-terjemahan/